Suara.com - Krisis Ekonomi yang membelit Sri Lanka menjadi ujian terbesar bagi kekuasaan klan Rajapaksa. Amarah warga akibat krisis ekonomi menyusutkan opsi terakhir bagi dinasti politik paling berpengaruh itu untuk tetap berkuasa.
Sampai tahun lalu, Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, masih sibuk menyesaki kabinet pemerintahannya dengan anggota keluarga sendiri.
Kakak tertuanya, Mahinda, yang pernah menjabat sebagai presiden selama 10 tahun, dipilih sebagai perdana menteri.
Saudara kandungnya yang lain, Chamal, adalah menteri irigasi. Sementara putranya, Sasheendra Rajapaksa, menjabat sebagai menteri muda urusan pertanian.
Adapun Putra Mahinda, Namal, diangkat sebagai menteri pemuda dan olahraga di usia 34 tahun.
Sang presiden sampai-sampai mengamandemen konstitusi untuk memungkinkan kakaknya, Basil Rajapaksa, yang berkewarganegaraan ganda untuk menjabat menteri keuangan.
Dia ditugaskan mengelola utang negara demi menyelamatkan Sri Lanka dari kebangkrutan.
Namun atas desakan publik, Basil dipecat oleh Gotabaya, pada Senin (4/4), dan digantikan dengan menteri kehakiman, Ali Sabry, yang mengundurkan diri keesokan harinya, setelah hanya satu hari menjabat.
Sri Lanka di titik nadir
Baca Juga: Ditinggal Menteri Sendiri, Presiden Sri Lanka Ajak Oposisi Berkuasa
Amarah semakin mendidih di jalan-jalan kota Sri Lanka, seiring kian langkanya bahan bakar dan barang kebutuhan pokok, termasuk obat-obatan.
Ratusan demonstran Kamis (31/3) lalu, berusaha merangsek masuk ke kediaman Presiden Gotabaya, namun digagalkan aparat kepolisian.
Sejak malam itu, pemerintah di ibukota "de jure" Sri Jayewardenepura Kotte menerbitkan larangan berkumpul dan memblokir situs media sosial.
Tentara juga dikerahkan ke kota-kota besar untuk mengamankan ruang publik. Tapi langkah tersebut gagal meredam protes yang terus menjalar.
Pada Senin (4/4), giliran rumah Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa di Tangalle yang diserbu demonstran.
Kota di distrik Hambantota itu dikenal sebagai kantung terbesar pendukung klan Rajapaksa.