"Kemudian hak mendapatkan dukungan akomodasi dan transportasi dan hak untuk tidak mendapatkan stigma dan diskriminasi," papar Citra.

Pada poin kedelapan, LBH Jakarta turut menyoroti soal tidak diaturnya hak saksi dan ahli dalam UU TPKS. Mulai dari hak atas informasi tentang hak dan kewajibannya sebagai saksi/ ahli dalam proses peradilan perkara tindak pidana kekerasan seksual, hak atas kerahasiaan identitas diri, keluarga, kelompok dan/atau komunitasnya, dan hak untuk memperoleh surat pemanggilan yang patut, fasilitas atau biaya transportasi, dan/atau akomodasi selama memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana perkara tindak pidana kekerasan seksual.
"Kemudian hak atas layanan psikolog klinis atau dokter spesialis kesehatan jiwa bagi saksi,hak atas layanan bantuan hukum bagi saksi,hak untuk mendapatkan layanan rumah aman bagi saksi," papar Citra.
Poin kesembilan adalah soal upaya pencegahan yang juga belum lengkap. Citra mengatakan, belum ada aturan penyebarluasan informasi tentang penghapusan kekerasan seksual dan beberapa poin seperti:
Menyediakan program dan anggaran untuk pencegahan kekerasan seksual, membangun kebijakan penghapusan kekerasan seksual yang berlaku bagi lembaga negara, pemerintah dan pemerintah daerah, dan membangun komitmen penghapusan kekerasan seksual sebagai salah satu syarat dalam perekrutan, penempatan dan promosi jabatan pejabat publik.
Kemudian, memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi pejabat dan aparatur penegak hukum yang dikelola oleh negara dan membangun sistem data dan informasi kekerasan seksual yang terintegrasi dalam sistem pendataan nasional.
Poin terakhir, dalam UU TPKS belum mengatur larangan bagi aparat penegak hukum agar tidak menggunakan pertimbangan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya yang mengandung muatan diskriminasi terhadap korban. Kemudian, tidak menggunakan penafsiran ahli yang bias gender dan tidak mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
Atas hal itu, LBH Jakarta menilai, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah agar undang-undang ini dapat diimplementasikan sesuai cita-cita keadilan yang diharapkan korban dan penyintas kekerasan seksual. Berikut sejumlah catatan LBH Jakarta:
- Memperkuat kultur hukum aparat penegak hukum agar berperspektif korban dan gender dalam setiap tahapan proses peradilan pidana.
- Memperkuat mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum demi terciptanya penegakan hukum yang adil dan transparan bagi korban kekerasan seksual.
- Melengkapi infrastruktur yang memadai sesuai kebutuhan korban, termasuk alokasi anggaran untuk memenuhi hak-hak korban baik penanganan, perlindungan dan pemulihan yang dapat diakses secara cuma-cuma.
- Memprioritaskan agenda pendidikan publik dan kampanye demi terciptanya ruang aman di seluruh lini kehidupan masyarakat.
- Membentuk peraturan pelaksana yang menguatkan implementasi UU TPKS dengan melibatkan secara penuh partisipasi korban, penyintas dan jaringan masyarakat sipil.
Baca Juga: Setelah RUU TPKS Disahkan jadi UU, Begini Janji Menteri PPA Bintang Puspayoga