Angin malam serta debu aspal menjadi selimut bagi Djarot. Tidak jarang badannya menjadi linu lantaran hanya tidur beralaskan kardus.
“Tidur di kolong jembatan,” ungkap Djarot, sembari menunjuk lokasi tempat biasa ia bermalam.
Di masa tuanya, Djarot hanya bisa pasrah. Jika ada peluang memiliki modal, ia ingin membuka kedai kecil untuk berjualan kopi.
Ia juga tidak ingin hidup bergantung pada belas kasih orang lain.
“Yang penting nggak nyakitin orang, nggak ngerusuhin orang, dan nggak nyusahin orang,” pungkasnya.
Adu Nasib ke Jakarta
Sembari duduk bersandar pada karung yang berisi barang bekas, Djarot bercerita, 15 tahun yang lalu ia datang ke Jakarta untuk mengadu nasib.
Keinginannya ke Jakarta lantaran mendapat tawaran dari keponakan. Semula Djarot tidak berprofesi sebagai pemulung barang bekas, melainkan tulang amplas furnitur milik keponakannya.
Namun nasib berkata lain, keponakan Djarot meninggal dunia, usaha furniturenya pun bangkrut. Hal tersebut membuat Djarot kehilangan pekerjaannya sebagai tukang amplas.
Baca Juga: Ini Harapan dan Makna Kemerdekaan di HUT RI ke-77
Djarot yang hanya hidup sebatang kara, tidak patah arang. Rasa lapar membuatnya harus berpikir bagaimana upayanya dapat menutupi rasa tersebut. Beralihlah ia menjadi pengumpul barang bekas atau orang kerap menyebutnya pemulung.