Suara.com - Pengamat kepolisan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai pernyataan sejumlah anggota Polri yang melakukan obstruction of justice terkait kasus pembunuhan Brigadir J karena terkena prank mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo hanyalah alibi.
Menurut peneliti ISESS itu, alibi tersebut diutarakan agar yang bersangkutan mendapat sanksi ringan.
"Pernyataan bahwa beberapa personel terutama para perwira menengah ke atas dengan masa kerja lebih dari 10 tahun melakukan obstruction of justice karena terkena “prank” atau dibohongi FS (Ferdy Sambo) itu hanya alibi saja untuk mendapatkan keringanan sanksi. Demikian juga dengan dalih hanya menjalankan perintah atasan," kata Bambang kepada suara.com, Selasa (13/9/2022).
Bambang menilai, seluruh anggota Polri yang terlibat dalam skenario palsu buatan Ferdy Sambo untuk menutupi kejahatannya membunuh Brigadir J sudah semestinya dijatuhi sanksi berat. Sebab, perbuatannya itu merupakan upaya membohongi rakyat yang secara tidak langsung juga berdampak terhadap menurunnya tingkat kepercayaan terhadap Polri.
"Dampak obstruction of justice, rekayasa-rekayasa kasus dan pernyataan bohong yang dilakukan mereka menimbulkan ketidak percayaan publik pada institusi Polri. Makanya aneh kalau kemudian para pelaku hanya diberi sanksi permintaan maaf pada lembaga saja dan demosi 1-2 tahun saja. Padahal yang dibohongi juga rakyat dan negara yang sudah memberi kewenangan pada kepolisian," katanya.
Sanksi lebih berat atau tegas berupa penurunan pangkat satu tingkat dan mutasi keluar daerah semestinya bisa dijatuhkan kepada anggota. Hal ini menurut Bambang diperlukan agar tidak semakin menurunkan kepercayaan publik terhadap Polri.
"Demosi yang tegas harusnya juga meliputi penurunan pangkat satu tingkat dan harus diiringi dengan mutasi ke luar daerah. Melakukan mutasi 100-200 orang terlibat dengan menyebar di 32 provinsi (dikurangi satu Polda Metro Jaya) dan 400-an Polres di luar pulau tentunya masih sangat cukup untuk tempat mereka mengabdi pada polisi," tuturnya.
"Perlakuan yang tidak transparan dan tidak adil bagi personel oleh internal justru akan semakin membuat menurunnya kepercayaan masyarakat, dan menjatuhkan kewibawaan Kapolri untuk internal. Bahwa pernyataan-pernyataan Kapolri terkait sanksi tegas itu tak lebih dari pernyataan kosong," imbuhnya.
35 Polisi Diduga Langgar Etik, 5 Dipecat

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sempat menyebut sebanyak 97 anggotanya telah diperiksa Inspektorat Pengawasan Khusus atau Itsus terkait kasus pembunuhan yang menjerat Ferdy Sambo. Dari hasil pemeriksaan, 35 di antaranya diduga telah melakukan pelanggaran etik.
"Kami telah memeriksa 97 personel, 35 orang diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi," kata Listyo saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (24/8/2022) lalu.
Dari 35 anggota yang diduga melanggar etik, 18 di antaranya ditahan di tempat khusus atau Patsus. Sampai pada akhirnya, penyidik tim khusus bentukan Kapolri menetapkan tujuh anggota sebagai tersangka obstruction of justice.
Ketujuh anggota tersebut, yakni: Ferdy Sambo, mantan Karopaminal Divisi Propam Polri Brigjen Pol Hendra Kurniawan, mantan Kaden A Biro Paminal Divisi Propam Polri Kombes Pol Agus Nurpatria, mantan Wakaden B Biropaminal Divisi Propam Polri AKBP Arif Rahman Arifin, mantan PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri Kompol Chuk Putranto, mantan PS Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri Kompol Baiquni Wibowo, dan mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri AKP Irfan Widyanto.
Terkait hal ini, Bambang meminta Polri terus mengusut anggota lainnya yang diduga melakukan obstruction of justice.
"Pidana Obstruction of justice itu harus dilanjutkan tidak hanya pada tujuh orang tersebut, tetapi juga dengan personel-personel yang lain. Habisnya waktu penahanan pada tempat khusus seharusnya tidak menghentikan proses pidana maupun sidang etik yang bersagkutan," jelas Bambang.