Dengan demikian, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tidak perlu lagi mengajukan permohonan persetujuan tertulis sebagaimana yang diatur sebelumnya. Upaya ini dilakukan agar proses pindah status kepegawaian tersebut berjalan lebih efektif dan efisien.
Sebagai contoh, ketika seorang Pj bupati akan melepas ASN-nya pindah ke kabupaten lain. Kedua kepala daerah, baik yang melepas maupun menerima, harus mendapatkan izin Mendagri lebih dulu sebelum menandatangani surat melepas dan menerima pegawai tersebut.
Padahal pada tahap selanjutnya, mutasi antardaerah tersebut akan tetap diproses oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dengan demikian, untuk mempercepat proses pelayanan mutasi, maka melalui penandatanganan izin melepas dan izin menerima tersebut diberikan.
Pada dasarnya SE itu hanya memberikan persetujuan amat terbatas, hanya 2 urusan diatas kepada Pj Kepala Daerah untuk kecepatan dan kelancaran birokrasi pembinaan kepegawaian, dan sangat jauh berbeda dengan kewenangan kepala daerah definitif, "ujar Benni.
Namun, lanjut Benni, untuk mutasi pejabat internal daerah, seperti pengisian jabatan tinggi pratama dan administrator, Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus mendapatkan izin tertulis dari Mendagri.
"Kalau tidak dapat izin dari Mendagri, maka kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan oleh daerah," tegasnya.
Selanjutnya, setelah proses pembinaan kepegawaian tersebut dilaksanakan, maka Pj, Plt, dan Pjs kepala daerah tetap harus melaporkan kepada Mendagri paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak kebijakan tersebut diambil.
Usul Cabut Surat Edaran
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa mengusulkan agar Mendagri Tito Karnavian mencabut Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022.
Baca Juga: Andika Perkasa, Tito Karnavian dan Rizal Ramli Dianggap Layak Jadi Capres 2024 dari Non Partai
Saan menilai SE yang memberikan izin kepada penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), maupun penjabat sementara (Pjs) kepala daerah untuk memutasi maupun memberhentikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu rawan untuk diinterpretasi sendiri-sendiri.
"Jadi saya mengusulkan surat edaran tersebut kalau bisa dicabut karena nanti rawan interpretasi. Bukan hanya rawan interpretasi oleh para Pj gubernur, bupati/wali kota, juga rawan interpretasi di publik," kata Saan dalam rapat Komisi II dan Mendagri, Rabu (21/9/2022).
Selain rawan interpretasi, Saan menilai keberadaan SE itu juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
Karena itu, sebelum mengusulkan mencabut SE, Saan lebih dulu meminta adanya evaluasi dan revisi untuk kemudian diperbarui dengan SE lain.
"Dievaluasi atau direvisi terkait dengan soal surat edaran itu supaya dasar hukumnya ini tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada semua," kata Saan.
Sebelumnya Saan menilai penjelasan terkait SE penting disampaikan Tito di dalam rapat.