Ketika kehancuran dan kesengsaraannya terlalu besar seperti sudah terlihat di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, maka pihak-pihak yang memicu perang, terlebih yang memerintahkan penggunaan senjata nuklir, bakal menjadi sasaran utama kemarahan manusia sedunia.
Hanya orang yang tidak memiliki empati yang mengglorifikasi serangan nuklir. Sebaliknya, kecaman dan kemarahan yang amat besar akan makin merongrong posisi Rusia, khususnya Vladimir Putin.
Kemarahan itu tidak hanya akan terjadi di Ukraina dan mayoritas dunia yang menentang aneksasi wilayah negara berdaulat oleh negara lainnya, namun juga mereka yang selama ini dianggap sekutu Rusia.
China yang senantiasa berusaha berpegang kepada konsensus global pun sangat mungkin mengubah sikapnya terhadap Rusia, apalagi Pakta Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) yang diprakarsai PBB dan mulai berlaku sejak 22 Januari 2021, membuat dunia mencapai konsensus untuk tidak menggunakan senjata nuklir.
Dengan segala skenario ini, Putin bisa dipaksa berpikir seribu kali sebelum menggunakan senjata nuklir.
Penggunaan senjata nuklir juga bisa memperkeras, memperluas, dan memperlama sanksi kepada Rusia yang akhirnya kian menyengsarakan rakyatnya dan kemudian bisa berbalik menciptakan masalah besar pada kelangsungan rezim Putin sendiri.
Presiden Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini mengecam ketidakberpihakan sejumlah negara dalam konflik Ukraina-Rusia, persis seperti Menteri Luar Negeri AS era awal Perang Dingin, John Foster Dulles, yang menyebut netralitas sebagai tak bermoral.
Pandangan ini akan makin umum di Barat jika Putin nekat meledakkan bom nuklir di Ukraina sehingga sangat mungkin kian banyak negara yang menentang Rusia, bukan karena definisi Barat tentang perang Ukraina, melainkan karena persoalan moral di balik penggunaan senjata nuklir.
Intinya penggunaan senjata nuklir hanya akan merugikan Rusia atau lebih tepatnya Putin sendiri. (Sumber: Antara)
Baca Juga: Warga Rusia yang Menentang Perang Putin dengan Risiko Dipenjara