Suara.com - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bakal segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski masih banyak pasal yang menuai kontroversi, nyatanya pemerintah berniat mengesahkan RKUHP dalam rapat paripurna pada Selasa (6/12/2022).
Menkumham Yasonna Laoly sendiri sudah menyatakan bahwa RKUHP tidak mungkin bisa memuaskan seluruh kalangan masyarakat. Karena itu, jika ada yang ingin memprotes pasal, maka ia mempersilakan untuk menggugat ke Majelis Konstitusi (MK).
Berdasarkan penelusuran Suara.com, berikut ini deretan pasal kontroversial RKHUP selengkapnya.
Unjuk rasa tidak boleh tanpa pemberitahuan
Pasal kontroversial RKUHP salah satunya yakni Pasal 256. Orang yang melakukan demonstrasi atau piawai tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, maka terhadapnya dapat dikenakan sanksi pidana 6 bulan kurungan.
Pasal tersebut pun dianggap oleh masyarakat telah mengancam demokrasi.
Penghinaan terhadap presiden dan Lembaga Negara
Penghinaan terhadap pemerintah yang mencakup Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah tertera dalam Pasal 240 RKUHP.
Aturan tersebut menegaskan bahwa setiap orang yang menghina lembaga negara dan Presiden serta wakilnya akan terancam hukuman selama 1 tahun 6 bulan penjara.
Baca Juga: Ini Deretan Pasal Kontroversial Di RKUHP, Dari Santet Hingga Kumpul Kebo
Penyebaran berita bohong atau hoax
Pasal 263 RKUHP mengatur terkait penyebaran berita bohong. Pelaku dapat dikanakan pidana penjara hingga 6 tahun.
Sementara itu, orang yang menyebarkan berita berlebihan dapat terancam 2 tahun penjara. Pasal ini dinilai dapat mengancam kebebasan berpendapat.
Penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden
Pasal 218 dan 219 RKUHP menyinggung terkait penghinaan, serangan terhadap pribadi Presiden dan Wakil Presiden. Pelaku dapat dipidana hingga maksimal 3 tahun penjara atau 4 tahun jika melalui media sosial.
Pasal ini merupakan delik aduan. Perkara dalam kasus ini hanya dapat diproses jika Presiden dan Wakil Presiden melaporkan tindakan pelaku. Pasal ini dianggap turut mengancam kebebasan berpendapat.