Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Terik perlahan menjauh, langit berangsur agak mendung. Sesekali sepeda motor melintas ke ujung gang, suaranya seolah timpa-menimpa dengan sorot mata Rahima. Dengan sedikit menundukan kepanya, ingatan saat berada di bangku pesawat ketika meninggalkan kampung halaman seakan belum tuntas.
Dia kenang lagi perpisahannya dengan sang ayah, Sayed Mohammad Husein yang telah meninggal dunia 2020 lalu. Hal itu begitu sangat membekas dalam benak Rahima. Berita kematian sang ayah hanya Rahima terima melalui sambungan telepon.
Kesedihan itu seakan menambah kesusahan hidup Rahima sebagai pengungsi luar negeri di Indonesia. “Bapak saya jual apa saja yang dia punya,” ucap Rahima sambil menuangkan teh untuk ku. “Tanah, rumah, barang-barang habis. Katanya, yang penting saya aman.”
Untuk biaya hidup ketika awal-awal berada di Indonesia, Rahima kerap mendapat kiriman uang dari Afghanistan. Ayah dan pamanannya secara berkala mengirim uang 300 dolar AS setiap tiga bulan.
Lambat laun, kiriman uang semakin menipis, ketika paman Rahima meninggal dibunuh pasukan Taliban pada 2017 lalu. Tak hanya itu, Sayed juga mulai sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal.
![Bibi Rahima Farhangdost, pengungsi asal Afghanistan yang sudah sembilan tahun tinggal di Indonesia. [Suara.com/Arga]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/02/13/69962-bibi-rahima-farhangdost.jpg)
Kini, Rahima hanya punya Bibi Sabargul dan tiga keponakan anak dari kakak-kakaknya. "Bapak saya tidak ada uang untuk berobat ke luar negeri, di Pakistan. Karena tidak ada uang, dia meninggal. Itu berat buat saya," tutur Rahima.
Untuk bertahan hidup, Rahima bekerja paruh waktu sebagai penerjemah di sebuah organisasi bernama Jesuit Refugee Service (JRS) di kawasan Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Pekerjaan yang Rahima lakoni adalah mengantar pengungsi Afghanistan yang sakit untuk berobat ke rumah sakit. Pasalnya, banyak dari para pengungsi luar negeri itu tidak fasih berbahasa Indonesia.
Kali pertama tiba di Indonesia, Rahima sempat mendaftarkan diri ke kantor UNHCR untuk mengurus proses resettlement. Saat itu, Rahima bertemu seseorang pengungsi yang juga berasal dari Afghanistan, Mahdi.
Kepada Rahima, Mahdi memberikan informasi jika Rahima bisa datang ke kantor JRS agar mendapat bantuan. "Di daerah Cisarua ada organisasi JRS. Kamu bisa ke sana. Kamu kan bisa bahasa indonesia, kalau ada kesempatan, mungkin kamu bisa kerja sama mereka," kenang Rahima menirukan perkataan Mahdi saat itu.
Baca Juga: Pervez Musharraf Meninggal di Pengasingan, Akibat Penyakit Langka yang Dideritanya Menahun
Rahima merasa sedikit lebih beruntung ketimbang pengungsi lain yang tidak bisa mempunyai pekerjaan hingga harus tinggal di rumah pengungsian. Tidak adanya penghidupan layak semacam itu membikin mereka tertekan secara mental, bahkan ada yang melakukan bunuh diri. "Saya tidak kenal, namanya Ali 22 tahun, teman dari teman saya. Dia gantung diri di kamar kos di daerah Tajur. Sedih sekali," kata Rahima.
Catatan Amnesty International Indonesia pada Februari 2022, setidaknya ada 17 pengungsi asal afghanistan bunuh diri, sementara ada lebih dari seratus lainnya yang melakukan percobaan bunuh diri. Banyak di antara para pengungsi mengalami stres dan tekanan mental yang luar biasa. "Mereka meminta Amnesty untuk membantu mencarikan solusi, jalan keluar, agar mereka bisa terhindar atau terlepas dari berbagai masalah tersebut," kata Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, beberapa waktu lalu.
Indonesia sejatinya mempunyai Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 yang mengatur penanganan pengungsi luar negeri. Menurut Ketua Perkumpulan Suaka, Atika Yuanita Paraswary, Perpers tersebut belum mampu menjamin pemenuhan HAM bagi para pegungsi luar negeri di Indonesia.
Perkumpulan Suaka bersama beberapa lembaga memang tengah melakukan penelitian dalam memotret kehidupan para pengungsi dalam waktu yang panjang. Hal itu dilakukan untuk mengetahui masalah apa saja yang terjadi pada para pengungsi luar negeri yang ada di Indonesia. "Apakah ada masalah mental? Lalu, bagaimana mereka menyikapi hal tersebut. Semoga hasilnya bisa keluar dan kami bawa untuk menyuarakan soal kondisi mental para pengungsi," kata Atika.
Menurut Perkumpulan Suaka, permasalahan hidup para pengungsi luar negeri yang ada di Indonesia harus menjadi isu publik. Sebab, masih banyak pengungsi luar negeri yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian, bahkan pemenuhan hak asasi manusianya belum terpenuhi. "Ini harus jadi isu publik, jangan-jangan bule yang sering kalian lihat itu bukan turis yang sedang jalan-jalan. Mereka itu refugee yang memang membutuhkan bantuan," ucap dia.
***