"Mbah sendiri di sini? Pengurusnya mana?"
"Ndak ada," jawab laki-laki tua itu dengan nada terbata-bata.
"Siapa?" sambil mengarahkan telunjuk kanannya ke arahku.
"Saya Tumiso," ucapnya memperkenalkan diri.
Laki-laki 90 tahun itu tiba-tiba berdiri, mengajak masuk ke dalam panti. Aku melewati sebuah koridor hingga ke ruang tengah. Bau obat-obatan menjadi aroma paling dominan.
Di area ruang tengah langsung tembus ke bagian dapur, di sini terdapat sebuah meja makan panjang dan sebuah rice cooker dalam kondisi menyala.
Aku sempat menoleh sedikit ke beberapa kamar di panti hingga akhirnya kami berdua kembali duduk di sofa reyot tadi.

"Mbah asalnya dari mana?" tanyaku.
"Surabaya," kata Tumiso.
Baca Juga: Denny Siregar Singgung Soal Upaya Mengkaburkan Jejak Rezim Orde Baru: Target Mereka Pemilih Muda
Tumiso sama sekali tak ingat kapan pertama kali datang ke Panti Jompo Waluya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil menatap dinding panti yang kusam.