“Bukannya saya tidak mencari cara legalisasi, bukan. Itu jelas memang tidak diberi, karena dari pejabat tingkat paling bawah pun tidak memberi saya izin,” kata Utiek.
Aturan utama dalam PBM yang menghalang-halangi pendirian tempat ibadah adalah prosedur ’90 per 60’. Artinya, bila hendak mendirikan tempat ibadah, maka jemaat minimal berjumlah 90 orang dan dibuktikan memakai kartu tanda penduduk.
Namun, para penghayat tak pernah bisa menerakan keyakinan mereka pada kolom agama KTP. Kalaupun sudah ada 90 jemaah, mereka harus mendapatkan persetujuan minimal 60 warga setempat yang diketahui pejabat desa atau lurah.
“Setelahnya masih harus mendapatkan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan izin rekomendasi Kemenag,” kata Utiek.

Kemendagri berkeberatan
ANGIN segar sempat dirasakan oleh kaum penghayat atau orang-orang yang memeluk sistem kepercayaan asli Nusantara, ketika Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kependudukan.
Meskipun diskriminasi serta persekusi terhadap mereka tetap terjadi secara sporadis, putusan itu membuat para penghayat terafirmasi secara prosedural serta mempunyai status hukum yang sah.
Namun, kekinian, muncul persoalan baru seiring digodoknya rancangan peraturan presiden tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama atau Ranperpres PKUB.
Sebab, berdasarkan draf tertanggal 27 Juli 2023, ranperpres tersebut tidak mengakomodasi kaum penghayat di dalamnya.
Baca Juga: Detik-detik Politikus PDIP 'Seruduk' Acara Rocky Gerung Bareng Mahasiswa: Tidak Beradab!
Berdasarkan dokumen yang diterima Suara.com, tak termuat satu pun diksi penghayat pada 36 pasal yang diusulkan.
Tapi sebaliknya, persyaratan 90 per 60 untuk pendirian rumah ibadah yang dinilai diskriminatif serta menjadi salah satu sumber utama masalah, justru tetap tercantum.
Utiek mengakui, putusan MK yang mengafirmasi kesetaraan antara agama dengan penghayat kepercayaan adalah langkah progresif di Indonesia. Namun, Ranperpres PKUB itu justru membuat kemajuan tersebut kembali mundur.
“Seharusnya ranperpres itu meneruskan langkah maju putusan MK. Semakin mengukuhkan kesamaan antara agama dengan penganut kepercayaan,” kata dia.
Menurutnya, bila ranperpres masih mengandung pasal-pasal bermasalah, potensi diskriminasi serta persekusi terhadap kaum penghayat justru semakin tumbuh kembang di banyak daerah.
Secara hukum, pemerintah justru menargetkan Ranperpres PKUB sebagai penebal kekuatan hukum Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.