
Di Indonesia, angka kematian ibu hamil mencapai 4.005 pada tahun 2022 dan meningkat menjadi 4.129 pada tahun 2023, menurut data Maternal Perinatal Death Notification (MPDN) dari Kementerian Kesehatan.
Dr. Gde Suardana, Sp. O. G., menjelaskan bahwa tingginya angka kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh terlambatnya diagnosis dan rujukan ke fasilitas kesehatan yang memadai.
"Terlambat menegakkan diagnosis itu menyebabkan dia (ibu hamil) datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi yang, istilahnya, kurang baik kondisinya,” kata Gde Suardana.
Keterlambatan deteksi kegawatdaruratan seperti preeklamsia dan eklamsia, serta pendarahan dan infeksi, berkontribusi signifikan terhadap kematian ibu hamil.
WHO merekomendasikan pemeriksaan kehamilan antenatal care (ANC) minimal delapan kali, sedangkan Kemenkes mengusulkan minimal enam kali, dengan tujuan untuk menurunkan angka kematian ibu.
Dokter spesialis menyatakan bahwa preeklamsia dan eklamsia, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah, serta pendarahan adalah penyebab utama kematian ibu hamil.
Penanganan yang cepat dan akses ke fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan pelayanan obstetri neonatal darurat komprehensif (PONEK) sangat penting.
Kondisi keterlambatan dalam deteksi dan rujukan ini juga diperparah dengan kendala geografis seperti akses yang sulit di beberapa daerah.
Baca Juga: Kominfo dan Indosat Siap Datangi DPR buat Klarifikasi Kasus Pencurian Data Ribuan NIK Warga