Patriark Maronit, Beshara al-Rai, menyebut penduduk desa di sepanjang perbatasan sebagai sandera yang menanggung beban konflik ini.
Sementara itu, di desa Qlayaa, yang terletak empat kilometer dari perbatasan, ratusan keluarga juga memilih untuk tetap tinggal meskipun kekurangan bahan bakar dan obat-obatan.
“Kami adalah orang-orang percaya yang terikat pada tanah kami,” kata Pastor Pierre al-Rai.
Diberitakan bahwa tentara Israel telah meminta penduduk selatan Lebanon untuk meninggalkan rumah mereka, tetapi banyak yang menolak untuk pergi. Pauline Matta, seorang ibu empat anak, mengaku sangat ketakutan dengan suara ledakan dan pesawat tempur Israel.
“Saya tidak bisa membayangkan meninggalkan rumah atau bertahan di tempat lain dengan gaji suami saya yang modest,” keluhnya.
Matta dan penduduk lainnya bersikeras untuk tetap bertahan meskipun terjebak dalam perang yang bukan mereka pilih.
“Mereka memaksakan perang ini kepada kami. Kami tidak ada hubungannya dengan itu. Mengapa kami harus pergi?” ungkapnya dengan penuh tekad.
Keberanian dan ketahanan mereka menunjukkan semangat yang tak tergoyahkan di tengah kekacauan yang melanda kawasan ini.