Suara.com - Pemerintah merencanakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyatakan hal tersebut bakal tetap dijalankan sesuai mandat undang-undang (UU).
Salah satu pertimbangannya adalah anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.
"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," ucapnya.
Wacana kenaikan PPN tersebut mendapat perhatian dari Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.
Ia menegaskan, pemerintah harus memastikan penerimaan negara tambahan dari kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen harus kembali disalurkan ke masyarakat karena kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan menghasilkan tambahan penerimaan yang besar.
"Dari itu, pemerintah perlu memastikan jika tambahan penerimaan tersebut disalurkan ke masyarakat kelas menengah ke bawah, baik dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial," kata Fajry dikutip ANTARA, Kamis (21/11/2024).
Menurutnya, pemerintah harus memberikan keuntungan yang lebih banyak ke kelompok masyarakat menengah ke bawah usai mengimplementasikan kebijakan PPN 12 persen.
Baca Juga: Percepat Digitalisasi Layanan Keuangan, BPR Gandeng Peruri
Sebagai contoh, bila kenaikan pajak yang dibayarkan masyarakat menengah-bawah ke pemerintah sebesar Rp200, maka pemerintah perlu mengembalikan ke kelompok ini dengan manfaat senilai Rp250.