Aktivis HAM, Fatia Maulidiyanti, menyoroti pola kriminalisasi sistemik terhadap aktivis dan masyarakat yang vokal mengkritik pemerintah.
Sebelumnya, Fatia pernah menjadi korban kriminalisasi akibat kritiknya terhadap keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua.
"Polanya selalu sama, intimidasi, tawaran uang, atau perekrutan paksa menjadi polisi. Situasi ini terus berlanjut karena tidak ada evaluasi atau mekanisme pengawasan terhadap polisi. KUHP juga tidak memiliki nomenklatur tentang penyiksaan, sehingga tidak ada efek jera," ujar mantan Koordinator Kontras tersebut.
Ketiganya sepakat bahwa reformasi Polri membutuhkan dukungan masyarakat luas.
“Dalam mendorong reformasi Polri, tergantung daya dukung masyarakat terhadap kelompok penyintas dan lembaga yang berfokus terhadap reformasi polri ini,” kata Fatia.
Fatia lantas mengungkapkan bahwa rekam jejak oleh para lembaga, termasuk Kontras, nomor satu pelaku tindakan penyiksaan adalah polisi.
Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap polisi yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat terhadap hukum untuk melakukan kekerasan dan penyiksaan.
"Diam pun kita mati, bersuara pun kita mati. Walaupun kita mati, kita bisa bersuara untuk kebaikan kita semua," kata Rusin.
Mereka berharap suara dan perjuangan mereka dapat menjadi langkah awal menuju reformasi kepolisian yang lebih manusiawi dan berintegritas. [Kayla Nathaniel Bilbina]
Baca Juga: Pameran Lukisan Yos Suprapto Dibredel, LBH Jakarta: Negara Melanggar HAM Seniman