Fantastis! Total Kerugian Akibat Banjir Jabodetabek Ternyata Tembus Rp1,7 Triliun

Jum'at, 28 Maret 2025 | 17:33 WIB
Fantastis! Total Kerugian Akibat Banjir Jabodetabek Ternyata Tembus Rp1,7 Triliun
Arsip - Anak-anak bermain di air banjir. [Dok. Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah memprediksi jika total kerugian akibat banjir yang melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal Maret lalu nyaris tembus Rp1,7 triliun. Rekapitulasi yang diperoleh oleh BNPB tercatat bahwa total nilai kerusakan dan kerugian akibat bencana itu mencapai Rp1.699.670.076.814. 

"Dengan total nilai kerusakan dan kerugian yang hampir mencapai Rp 1,7 triliun, banjir Jabodetabek 2025 menjadi salah satu bencana dengan dampak ekonomi dan sosial yang besar. Angka tersebut mencerminkan dampak serius terhadap infrastruktur, perekonomian, dan kehidupan masyarakat di daerah terdampak," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam keterangannya, dikutip Jumat (28/3/2025).

Ilustrasi - Warga melintasi banjir di kawasan Cililitan, Jakarta, Selasa (4/3/2025). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/agr.
Ilustrasi - Warga melintasi banjir di kawasan Cililitan, Jakarta, Selasa (4/3/2025). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/agr.

Berikut rincian kerugian akibat banjir di setiap wilayah:

  1. Kabupaten Bekasi nilai kerusakan tertinggi mencapaj Rp 659,1 miliar dengan tambahan kerugian sebesar Rp 20,9 miliar, sehingga total dampaknya mencapai Rp 680 miliar.
  2. Kota Bekasi mengalami kerugian terbesar tanpa adanya laporan kerusakan, dengan total Rp 878,6 miliar.
  3. DKI Jakarta, total kerusakan dan kerugian yang dilaporkan mencapai Rp 1,92 miliar.
  4. Kabupaten Bogor mencatat dampak signifikan dengan total Rp 96,7 miliar.
  5. Kota Depok mengalami kerugian dan kerusakan senilai Rp 28,8 miliar.
  6. Kabupaten Tangerang mencatat kerugian sebesar Rp 5,06 miliar tanpa laporan kerusakan fisik.
  7. Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan tidak melaporkan adanya kerusakan atau kerugian yang signifikan.

Kerugian berdasarkan sektor kehidupan:

  1. Sektor perumahan menjadi yang paling terdampak, dengan total nilai kerusakan dan kerugian mencapai Rp 1.344.732.352.500 (Rp1,34 triliun). Kerusakan hunian serta kerugian akibat kehilangan barang dan kebutuhan dasar memberikan dampak besar bagi masyarakat terdampak.
  2. Sektor infrastruktur mengalami kerusakan senilai Rp 45.880.000.000 dengan kerugian akibat gangguan akses transportasi dan fasilitas umum mencapai Rp 110.117.582.000. Sehingga total kerugian sektor itu mencapai Rp 155.997.582.000 (Rp155,99 miliar).
  3. Sektor ekonomi juga terdampak cukup besar, dengan nilai kerusakan mencapai Rp 130.275.000.000 serta kerugian akibat penurunan aktivitas ekonomi sebesar Rp 14.188.511.000.
  4. Sektor sosial mengalami kerugian sebesar Rp 36.786.198.314 (Rp36,7 miliar) mencakup gangguan layanan kesehatan, pendidikan, serta peningkatan kebutuhan bantuan sosial bagi masyarakat terdampak.
  5. Kerugian lintas sektor tercatat total kerugian sebesar Rp 352.452.000. Istilah ini mencakup berbagai aspek, seperti dampak terhadap tata kelola pemerintahan, lingkungan, dan lainnya dalam penanganan bencana.

Pemicu Banjir Besar di Jabodetabek

Diketahui, banjir sempat menerjang sejumlah kawasan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal Maret 2025 lalu.

Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara (PTPN) III Persero, Mohammad Abdul Ghani, akhirnya terang-terangan mengakui pihaknya lalai hingga mengakibatkan bencana banjir besar di wilayah Jabodetabek.

Menurutnya, PT Jaswita Jabar yang mengelola tempat wisata Hibisc Fantasy di Puncak, Bogor melanggar ketentuan pembuatan bangunan.

Hal itu disampaikan Abdul Ghani dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (19/3/2025).

Baca Juga: Tolak UU TNI, Muncul Gerakan Lawan Dari Kantor: Himpun Donasi hingga Ajakan Berbaju Hitam Tiap Hari

Ia mengaku pihaknya melakukan kesalahan saat menunjuk mitra, dalam kasus ini PT Jaswita Jabar.

"Memang dengan kejadian awal Maret terjadinya banjir besar menyadarkan kami, bahwa ada sesuatu yang kami lalai terhadap yang mestinya kami kerjakan," kata Abdul.

Menurutnya, sebelum banjir akhirnya memuncak seperti beberapa hari kemarin, pihaknya telah mengurus hak pengelolaan lahan (HPL) sebagai persyaratan dari hak guna usaha (HGU) non perkebunan.

"Sebenarnya Pak di dalam aturan pemerintahan daerah itu juga ada aturan tentang sama dengan mendirikan usaha, ada IUP, kemudian ada kalau luasnya kecil itu Pak biasanya tidak pakai Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) Pak, UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) ada aturannya dari pemerintah daerah, kemudian di situ di kawasan Bogor itu ada ketentuan namanya koefisien wilayah terbangun, KWT," katanya.

Ia menyampaikan, ada batas angka untuk mendirikan bangunan berdasarkan KWT. Menurutnya, maksimum pembangunan di Puncak hanya 30 persen dari luas lahan yang ditetapkan lantaran daerah resapan air.

Jadi KWT itu maksimum dulu 7,9 persen, sekarang menjadi tinggal 6 persen. Jadi kalau ada 1.623 berarti hanya enam persennya yang boleh dibangun. Tapi, ada juga namanya koefisien dasar bangunan, khusus daerah Puncak karena itu daerah resapan air itu maksimum 30 persen Pak. Jadi kalau kita mengerjakan 1.000 meter yang boleh dibangun 300," ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI