Suara.com - Sejumlah peristiwa pengepungan kantor polisi yang dilakukan warga terjadi di berbagai wilayah dalam beberapa waktu terakhir.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai hal tersebut dipicu ketiadaan mekanisme pengawasan dan ruang keberatan bagi warga terhadap proses penegakan hukum.
Pada 9 April 2025, kantor Polsek Cikedung, Indramayu dikepung warga dari pukul 16.30 WIB hingga sekitar pukul 22.30 WIB. Aksi itu sebagai bentuk protes dari warga, karena sikap kepolisian setempat yang melepaskan pelaku pencurian.
Awalnya warga menangkap seorang pencuri, dan menyerahkan ke Polsek Cikedung. Namun, kepolisian melepaskan pelaku dengan syarat wajib lapor. Keputusan itu diambil kepolisian karena korban dari pencurian tidak membuat laporan resmi.
Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Lampung Tengah pada Maret 2024. Warga marah dan mengepung Polsek Kalirejo, karena kepolisian melepaskan salah satu pelaku pencurian sepeda motor.
Peneliti ICJR, Gilie L.A. Ginting, menilai sejumlah peristiwa tersebut menunjukkan permasalahan besar dalam institusi kepolisian yang berdampak terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat kepada tindakan yang dilakukan polisi utamanya dalam penanganan kasus pidana.
"Serangkaian peristiwa ini menunjukkan ketiadaan ruang keberatan atau komplain yang tersedia dalam sistem yang memadai, sehingga membuat warga mengambil jalur protes dan marah," kata Gilie lewat keterangannya kepada Suara.com, Sabtu (19/4/2025).
Dia menuturkan ruang komplain atau keberatan terhadap pelaksaan proses hukum oleh polisi yang tersedia oleh sistem peradilan pidana saat ini hanyalah dengan gugatan praperadilan.
"Praperadilan pun sama sekali belum dapat menjadi sandaran bagi korban pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan adil untuk meminta akuntabilitas dari pelaksanaan seluruh tindakan polisi utamanya dalam melakukan upaya paksa," jelasnya.
Baca Juga: Mulai Digeber Sehabis Lebaran, DPR Ancang-ancang Bentuk Panja Revisi KUHAP
Tak hanya itu, kata Gilie, objek praperadilan pun terbatas hanya pada menguji upaya paksa, sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan ganti kerugian salah tangkap.
"Tak ada ruang uji dalam hal polisi membebaskan begitu saja orang yang ditangkap namun dilepaskan tanpa dasar, tak bisa menguji apabila pada masa penangkapan dilakukan pemerasan, hingga sama sekali tak bisa menguji apabila perkara dihentikan di penyelidikan, yang hanya menjadi monopoli polisi," jelasnya.
![Santri menggeruduk Kantor Kepolisian Resor Kota (Polresta) Tasikmalaya. [Harapan Rakyat/Afif]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/10/23937-santri-menggeruduk-kantor-polisi.jpg)
Lanjutnya, mengepung kantor polisi ataupun mengadu ke media sosial menjadi alternatif utama dalam memperjuangkan keadilan, bukan bergantung pada sistem peradilan pidana.
Tindakan aparat yang dianggap menyalahgunakan wewenang atau tidak profesional, menurutnya, sering kali baru mendapatkan perhatian publik setelah menjadi viral.
Hal ini pun menandakan kekosongan dalam akses keadilan yang seharusnya tersedia bagi korban dari proses hukum.
"Protes fisik ataupun media sosial menjadi satu-satunya saluran yang memungkinkan untuk menuntut pertanggungjawaban aparat, meskipun tidak jarang tindakan tersebut justru membawa potensi kerugian lebih lanjut bagi korban sendiri," ujar Gilie.
ICJR pun menilai berbagai peristiwa itu, harus dijawab lewat reformasi sistem peradilan pidana yang akuntabel, jantung utamanya ada pada pembahasan RUU KUHAP, yang saat ini dibahas pemerintah dan DPR.
"Penyusunan dan pembahasan RKUHAP ini harus diarahkan untuk memperkuat perlindungan hak-hak masyarakat sipil melalui pembentukan mekanisme pengawasan yang independen, tidak hanya pengawasan internal kepolisian," katanya.
"Hal ini diwujudkan dengan adanya konsep judicial scrutiny atau pengawasan pengadilan melalui kehadiran hakim komisaris, yang menguji setiap tindakan polisi dalam proses hukum dan dapat menerima komplain atau keberatan terhadap setiap pelanggaran proses peradilan pidana," sambungnya.