Amnesty International Mencatat Ada Penguatan Praktik Otoriter di Berbagai Negara, Termasuk Indonesia

Selasa, 29 April 2025 | 18:39 WIB
Amnesty International Mencatat Ada Penguatan Praktik Otoriter di Berbagai Negara, Termasuk Indonesia
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid. (Suara.com/Faqih)

Suara.com - Amnesty International Indonesia (AII) mencatat ada penguatan praktik-praktik otoriter yang diadopsi oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid mengatakan, penguatan otoriter yang terjadi di hampir seluruh negara mengancam jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam hukum nasional maupun hukum internasional.

“Fenomena global tersebut terlihat dalam serangan-serangan terhadap supremasi hukum (rule of law), serangan terhadap kebebasan berekspresi dan perbedaan pendapat, penyalahgunaan teknologi yang melanggar hak-hak asasi manusia, diskriminasi terhadap kaum minoritas, hingga ketidakadilan iklim dan ketimpangan sosial ekonomi yang menajam,” kata Usman, saat peluncuran laporan tahunan Amnesty International terkait situasi HAM tahun 2024, di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2025).

Dia menjelaskan, fenomena menguatnya otoriter di berbagai negara, bisa terlihat dari rasisme sistemik di Israel dan Myanmar. Kemudian kejahatan perang di Etiopia, Sudan, dan Yaman, hingga kejahatan sangat serius di Gaza dan Ukraina.

Bahkan, setidaknya 21 negara mengajukan undang-undang atau rancangan undang-undang yang bertujuan untuk menekan kebebasan berbicara, berekspresi hingga pelarangan terhadap media. Fenomena serupa terlihat di tingkat nasional seperti di Indonesia.

Usman mengaku, saat ini pihaknya mencatat menguatnya praktik otoriter berupa serangan terhadap aturan hukum, termasuk aturan pemilu, serangan terhadap kebebasan berekspresi, pers, dan pelanggaran HAM yang berlanjut termasuk di Papua.

Pengawasan di luar hukum termasuk melalui penyalahgunaan teknologi yang melanggar HAM, diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan proyek-proyek pembangunan tanpa partisipasi masyarakat khususnya masyarakat adat.

“Jika penggunaan praktik-praktik otoriter tidak segera dihentikan maka kita bisa menuju pada epidemi pelanggaran HAM, sesuatu yang kita tidak inginkan,” ujar Usman.

Menurut Usman, di tingkat global serangan terhadap aturan hukum tercermin pada kasus Gaza dan Ukraina, maka di tingkat nasional serangan itu tercermin pada kasus Papua.

“Dari Aceh hingga Papua pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan seakan menjadi norma hukum karena berulangnya kekerasan tersebut selalu diikutidengan impunitas yang mengakar,” jelasnya.

Baca Juga: Saeful Bahri Sebut Upaya Giring Hukum untuk Jadikan Harun Masiku Anggota DPR RI sebagai Opsus

“Pembunuhan di luar hukum seakan menjadi endemi yang merata di banyak wilayah setiap tahunnya,” imbuhnya.

Otoritas negara seharusnya melakukan investigasi semua pembunuhan di luar hukum, baik oleh aparat maupun aktor-aktor non negara dan membawa pelaku ke pengadilan untuk diadili.

Namun hingga kini pembunuhan di luar hukum masih terus berlanjut. Amnesty mencatat, dari Januari hingga Desember 2024 terdapat 39 kasus pembunuhan di luar hukum yang tersebar di berbagai kota di Indonesia dengan total 39 korban.

Pelakunya mayoritas berasal dari Polri dan TNI. Data tersebut belum mencakup yang terjadi di Papua, di mana dari Januari hingga akhir Agustus 2024 Amnesty mencatat 17 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah 19 korban yang pelakunya berasal dari berbagai aktor seperti TNI/Polri, Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan orang tidak dikenal (OTK).

Selain serangan terhadap warga yang berulang dan seolah menjadi norma hukum baru, tahun 2024 diawali oleh reaksi berlebihan aparat terhadap berbagai ekspresi kekhawatiran akan netralitas aparat dan lemahnya integritas pemilu Indonesia.

Ada berbagai tindakan pengawasan dan pembatasan ekspresi mahasiswa, aktivis, dan akademisi yang terkait netralitas negara dalam menyelenggarakan pemilu.

Hal ini, lanjut Usman, dipicu oleh perubahan aturan elektoral yang dilakukan Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023, saat-saat di mana tahapan pemilu telah dimulai. Pertama kalinya, integritas dan independensi pemilu Indonesia dipertanyakan.

Kritik, kata Usman, saat itu bukan hanya datang dari akademisi, aktivis, jurnalis, dan mahasiswa di dalam negeri. Tapi juga datang dari berbagai pihak di luar negeri, termasuk Komite HAM PBB, sebagaimana tertuang dalam sesi resmi observasi penutup pada Maret 2024.

Kritik Komite HAM tertuju pada tindakan Presiden Joko Widodo ketika itu yang dinilai mengubah aturan elektoral melalui Mahkamah Konstitusi untuk mengupayakan agar anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menduduki jabatan publik yang tinggi.

Seperti termaktub dalam aturan pemilu, Gibran tidak memenuhi persyaratan formal berupa usia minimum untuk menjadi peserta pemilu.

“Ekspresi kritik warga terhadap netralitas pemilu adalah ekspresi yang sah. Wajib dijamin. Partisipasi warga dalam pemilu yang berintegritas juga sangatlah penting. Karena itu Pemilu 2024 menjadi momen ujian besar bagi pelaksanaan kewajiban negara atas hak asasi manusia. Sayangnya Indonesia gagal menjamin integritas elektoral tersebut,” beber Usman.

Selain itu, serangan pada kebebasan berekspresi mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Negara masih cenderung terus memenjarakan orang-orang kritis dengan tuduhan menghina, mencemarkan nama baik lembaga, individu maupun pejabat negara atau keluarga mereka di media sosial maupun elektronik.

Sejak Januari hingga Desember 2024 Amnesty mencatat 13 pelanggaran kebebasan berekspresi dengan 15 korban yang dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Meski telah dilakukan revisi sebanyak dua kali, UU ITE masih sering digunakan untuk merepresi warga yang menggunakan hak mereka untuk berpendapat.

Hingga memasuki tahun 2025, kriminalisasi terus terjadi walaupun telah ada aturan hukum yang melindungi warga yang ingin berpartisipasi (Anti-SLAPP).

Usman mengingatkan, pada 10 Maret 2025, lalu polisi menangkap seorang aparatur sipil negara dan seorang mahasiswa di Bangka Belitung.

Kepolisian menetapkan mereka sebagai tersangka pencemaran nama baik karena memuat konten negatif atas seorang pejabat rumah sakit umum daerah Pangkalpinang di media sosial.

Kemudian, ada pula Septia Dwi Pertiwi. Ia didakwa pencemaran nama baik hanya karena mengkritik pimpinan perusahaan tempat dia bekerja. Dalam putusan 22 Januari 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Septia tidak bersalah.

Namun, pada 17 Februari 2025, jaksa penuntut umum yang mendakwanya dengan UU ITE mengajukan kasasi atas putusan bebas Septia ke Mahkamah Agung.

“Jaksa adalah pengacara negara. Negara seakan ingin mengubah ruang ekspresi menjadi ruang jeruji melalui kriminalisasi ekspresi-ekspresi damai di ruang publik maupun digital,” tegas Usman.

Pembungkaman hingga jerat tindak pidana bukanlah taktik yang manusiawi untuk membungkam kritik. Kriminalisasi tidak hanya menghukum si korban tapi juga menimbulkan trauma psikologis bagi pihak keluarga.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI