Suara.com - Pemerintah masih terus didorong untuk segera menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Pemberlakuan cukai itu dinilai bisa berdampak terhadap penurunan konsumsi produk pangan tinggi gula, garam, dan lemak yang cenderung tidak sehat.
Penelitian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan bahwa kenaikan harga MBDK sebesar 20 persen berpotensi menurunkan konsumsi minuman berpemanis dan gula harian rata-rata sebanyak 5,4 gram untuk laki-laki dan 4,09 gram untuk perempuan.
"Pemberlakuan kebijakan yang komprehensif, misalnya kebijakan label depan kemasan, cukai MBDK, dan pembatasan pemasaran produk tinggi GGL, akan lebih efektif untuk mewujudkan lingkungan pangan sehat bagi masyarakat," kata Project Lead for Food Policy CISDI, Nida Adzilah Auliani, dalam media briefing di Jakarta.
Penurunan konsumsi MBDK itu juga bisa jadi berkontribusi terhadap berkurangnya tingkat obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2, stroke, hingga penyakit jantung koroner.
Data BPJS Kesehatan tercatat bahwa negara paling banyak menanggung biaya pengobatan akibat penyakit katastropik dengan faktor risiko obesitas, diabetes melitus, dan hipertensi meningkat sebesar 43 persen atau Rp 6-10 triliun.
"Apabila pemerintah tidak segera mengambil langkah serius, angka ini diperkirakan melonjak hingga mencapai Rp 23,59 triliun pada 2045," kata Nida.
Menurut catatan CISDI dan FAKTA, pemerintah sejak 2022 telah berencana menerapkan cukai MBDK sebagai upaya menurunkan konsumsi gula masyarakat.
Meski target penerimaan cukai dari MBDK setiap tahun sudah dimasukkan dalam APBN, nyatanya penerapannya masih terus ditunda sampai saat ini.
Baca Juga: Menkes: Pria Pakai Jeans Ukuran di Atas 32-34 Wafatnya Lebih Cepat
Padahal, angka konsumsi minuman manis terus meningkat setiap tahun, sejalan dengan tingginya prevalensi penyakit tidak menular.