Penulis utama studi, Luke Grant, menyatakan bahwa data ini belum mencakup risiko terburuk. Beberapa bencana ekstrem dapat terjadi secara bersamaan, seperti gelombang panas yang berbarengan dengan kebakaran hutan dan kekeringan.
Namun, simulasi untuk kejadian bersamaan tersebut masih sulit dilakukan dan belum dimasukkan dalam analisis.
Selain itu, studi ini menyoroti ketidakmerataan dampak iklim. Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah atau kelompok rentan sosial ekonomi menghadapi risiko jauh lebih tinggi. Mereka memiliki akses yang terbatas ke sumber daya penting seperti fasilitas kesehatan, air bersih, dan tempat tinggal yang aman.
Diperkirakan 95 persen anak dari kelompok rentan ini akan mengalami gelombang panas ekstrem, dibandingkan dengan 78 persen anak dari kelompok sosial ekonomi yang lebih mampu. Ketimpangan ini memperburuk kerentanan mereka terhadap bencana iklim.
Dampak perubahan iklim juga memengaruhi aspek pendidikan dan kesehatan anak-anak. Anak-anak yang harus mengungsi akibat banjir atau kebakaran sering kehilangan kesempatan belajar.
Mereka juga rentan terhadap penyakit yang meningkat akibat kondisi lingkungan yang tidak sehat. Selain dampak fisik, paparan bencana berkelanjutan dapat menimbulkan stres dan trauma yang berdampak pada perkembangan mental anak.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pencapaian target Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius dapat memberikan perlindungan signifikan bagi anak-anak.
Jika target ini tercapai, sekitar 613 juta anak dapat terlindungi dari gelombang panas ekstrem. Selain itu, risiko gagal panen dapat berkurang bagi 98 juta anak, dan 64 juta anak akan terhindar dari dampak banjir sungai. Perlindungan juga diperoleh oleh jutaan anak lain dari risiko kekeringan, kebakaran hutan, dan badai tropis.
Penulis: Kayla Riasya Salsabila
Baca Juga: Suara Kidung dari Lereng Slamet: Merapal Doa, Merawat Keseimbangan Bumi