Bolehkah Pergi Haji Pakai Uang Haram? Ini Penjelasan Para Ulama

Riki Chandra Suara.Com
Rabu, 21 Mei 2025 | 18:48 WIB
Bolehkah Pergi Haji Pakai Uang Haram? Ini Penjelasan Para Ulama
Ilustrasi uang haram. [Dok. ChatGPT]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hukum haji dengan uang haram menjadi salah satu pertanyaan besar yang kerap muncul di tengah masyarakat saat musim haji ke Tanah Suci kembali berlangsung.

Banyak juga yang bertanya, bagaimana status ibadah seseorang yang menunaikan haji menggunakan harta hasil korupsi, suap, riba, atau sumber tidak halal lainnya? Apakah ibadahnya tetap sah, atau justru tertolak?

Untuk diketahui, uang haram adalah uang yang diperoleh dari sumber yang dilarang oleh agama Islam, seperti hasil pencurian, riba, penipuan, perjudian, korupsi, dan lain-lain. Uang haram juga dapat berasal dari aktivitas yang melanggar hukum atau etika.

Dalam ajaran Islam, ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang hanya diwajibkan bagi umat Muslim yang mampu secara fisik dan finansial.

Mampu secara fisik karena harus menjalani perjalanan jauh dan menunaikan berbagai ritual berat seperti wukuf, tawaf, dan sa’i.

Sementara secara finansial, seorang calon jamaah harus memiliki dana cukup, bukan hanya untuk biaya keberangkatan, tetapi juga menjamin nafkah keluarga yang ditinggalkan.

Namun, masalah muncul ketika biaya haji itu bersumber dari uang haram, seperti hasil korupsi, penipuan, atau praktik jual beli yang melanggar syariat.

Dalam hal ini, para ulama memiliki pendapat berbeda mengenai keabsahan haji dengan uang haram.

Mengutip dari NU Online, tiga mazhab besar dalam Islam, yaitu Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, sepakat bahwa haji yang dibiayai dengan uang haram tetap sah, meskipun pelakunya berdosa karena memakai harta yang tidak halal.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Asnal Mathalib karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshari:

“Gugurlah kewajiban orang yang berhaji dengan harta haram, meskipun ia bermaksiat.”

Analogi yang digunakan, sama seperti orang yang salat di atas tanah rampasan. Secara fiqih, salatnya tetap sah, tapi tetap berdosa karena menempati tanah yang bukan miliknya.

Maka dari itu, ibadah haji dengan uang haram tetap menggugurkan kewajiban, namun pahalanya bisa tidak diterima oleh Allah SWT karena sumbernya tercemar.

Sebaliknya, mazhab Hanbali mengambil sikap lebih tegas. Mereka menyatakan bahwa haji yang dibiayai dengan uang haram tidak sah, sehingga jamaah wajib mengulanginya di tahun-tahun mendatang. Hal ini ditegaskan dalam kutipan hadis:

“Siapa yang berhaji dengan harta haram, jika ia berkata 'Labbaik', maka malaikat menjawab: 'La Labbaik wala Sa’daik, hajimu tertolak'.”

Imam Ahmad bin Hanbal, salah satu tokoh mazhab Hanbali, menegaskan bahwa ibadah yang bercampur dengan hal haram adalah batil dan tidak bisa diterima. Maka, pelaku wajib mengulangi hajinya dengan harta yang bersih dan halal.

Harta Halal Syarat Penting Dalam Ibadah Haji

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, semua mazhab sepakat bahwa Allah tidak menerima sesuatu kecuali dari sumber yang suci.

Maka penting bagi calon jamaah untuk memastikan bahwa dana yang digunakan untuk haji benar-benar halal.

Seiring meningkatnya jumlah keberangkatan jamaah haji Indonesia setiap tahun, termasuk pada musim haji 2025 ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengingatkan umat Muslim untuk berhati-hati terhadap sumber dana ibadah.

MUI menegaskan pentingnya memastikan biaya haji berasal dari uang halal agar ibadah menjadi sah dan diterima Allah SWT.

Perlu dipahami bahwa dalam fiqih Islam, ada perbedaan antara sah dan diterimanya suatu ibadah. Haji dengan uang haram bisa saja sah secara hukum fiqih, artinya gugur kewajiban hajinya.

Tapi, belum tentu diterima oleh Allah dan tidak mendapatkan pahala, sebagaimana orang yang berpuasa tapi tetap bergunjing atau salat namun riya.

Ulama besar seperti Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Raddul Mukhtar menyatakan bahwa ibadah yang bercampur dengan maksiat tetap bisa sah, tapi tidak bernilai pahala di sisi Allah.

Oleh karena itu, selain fokus pada tata cara ibadah, umat juga harus memperhatikan kehalalan rezeki sebagai bentuk pengagungan terhadap perintah Allah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI