suara hijau

Studi: Kekeringan Panjang dan Cuaca Ekstrem Bisa Bikin Produksi Beras dan Jagung Menyusut

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Jum'at, 23 Mei 2025 | 11:01 WIB
Studi: Kekeringan Panjang dan Cuaca Ekstrem Bisa Bikin Produksi Beras dan Jagung Menyusut
Ilustrasi kekeringan - kemarau panjang akibat perubahan iklim dan pemanasan global. (Suara.com/Mae Harsa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemanasan global kini tak lagi sekadar ancaman masa depan. Dampaknya semakin nyata dan mulai terasa di berbagai sektor kehidupan, termasuk pertanian.

Sebuah studi terbaru yang diterbitkan oleh Universitas Hamburg, memperingatkan peningkatan risiko terjadinya cuaca panas dan kekeringan ekstrem secara bersamaan di wilayah-wilayah penghasil pangan utama dunia.

Kondisi ini bukan hanya mengancam hasil panen global, tetapi juga mengguncang ketahanan pangan banyak negara, termasuk Indonesia.

Dampak Global: Risiko Ekstrem di Wilayah Strategis

Melansir ANTARA, Jumat (23/5/2025), studi yang dipimpin oleh peneliti iklim Victoria Dietz menemukan bahwa kenaikan suhu global sebesar 2°C akan menyebabkan peristiwa cuaca ekstrem yang bersamaan—panas dan kekeringan—terjadi lebih sering di kawasan penghasil jagung utama seperti Asia Timur, Asia Selatan, Eropa Tengah, dan Amerika Utara bagian tengah.

"Jika suhu bumi naik dua derajat, empat atau lebih wilayah utama penghasil beras dan jagung bisa terdampak cuaca ekstrem bersamaan setiap 14 tahun. Dampaknya bisa sangat buruk, baik bagi manusia maupun alam," tulis Dietz dalam laporannya.

Leonard Borchert, salah satu peneliti dalam studi ini, menambahkan bahwa pemanasan global mengurangi efektivitas perdagangan internasional sebagai peredam kegagalan panen.

"Jika semua wilayah utama terkena dampak secara bersamaan, ketersediaan jagung global bisa menurun drastis," terangnya.

Kepala Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan Kabupaten Sleman Suparmono mendampingi kegiatan pembelian gabah petani di Kelompok Tani Ngudi Makmur, Brintikan, Tirtomartani, Kalasan, Kabupaten Sleman, pada Kamis (13/2). (ANTARA/HO-DP3 Sleman)
Kepala Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan Kabupaten Sleman Suparmono mendampingi kegiatan pembelian gabah petani di Kelompok Tani Ngudi Makmur, Brintikan, Tirtomartani, Kalasan, Kabupaten Sleman, pada Kamis (13/2). (ANTARA/HO-DP3 Sleman)

Penelitian ini mempertegas pentingnya membatasi pemanasan global di bawah 2°C, seraya mengembangkan varietas tanaman yang lebih tangguh dan strategi adaptasi lokal untuk menghadapi iklim ekstrem di masa depan.

Baca Juga: Sirine Bahaya Krisis Iklim Berbunyi Keras: Saatnya Pendidikan Jadi Garda Terdepan!

Situasi Indonesia: Alarm untuk Ketahanan Pangan Nasional

Sebagai negara agraris yang 70% penduduknya bergantung pada sektor pertanian, Indonesia berada dalam posisi rawan. Berbagai indikator menunjukkan bahwa perubahan iklim mulai menggerus ketahanan pangan nasional:

1. Penurunan Produktivitas Padi

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata Indonesia naik 0,3°C dalam 30 tahun terakhir. Kenaikan 1°C saja bisa menurunkan hasil panen padi hingga 10%. Provinsi seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah telah mencatat penurunan produktivitas.

2. Perubahan Pola Curah Hujan

Musim tanam terganggu akibat hujan yang tak menentu dan musim kemarau yang makin panjang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan luas panen padi sebesar 2,15% pada 2023 dibanding tahun sebelumnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI