Suara.com - Pemanasan global kini tak lagi sekadar ancaman masa depan. Dampaknya semakin nyata dan mulai terasa di berbagai sektor kehidupan, termasuk pertanian.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan oleh Universitas Hamburg, memperingatkan peningkatan risiko terjadinya cuaca panas dan kekeringan ekstrem secara bersamaan di wilayah-wilayah penghasil pangan utama dunia.
Kondisi ini bukan hanya mengancam hasil panen global, tetapi juga mengguncang ketahanan pangan banyak negara, termasuk Indonesia.
Dampak Global: Risiko Ekstrem di Wilayah Strategis
Melansir ANTARA, Jumat (23/5/2025), studi yang dipimpin oleh peneliti iklim Victoria Dietz menemukan bahwa kenaikan suhu global sebesar 2°C akan menyebabkan peristiwa cuaca ekstrem yang bersamaan—panas dan kekeringan—terjadi lebih sering di kawasan penghasil jagung utama seperti Asia Timur, Asia Selatan, Eropa Tengah, dan Amerika Utara bagian tengah.
"Jika suhu bumi naik dua derajat, empat atau lebih wilayah utama penghasil beras dan jagung bisa terdampak cuaca ekstrem bersamaan setiap 14 tahun. Dampaknya bisa sangat buruk, baik bagi manusia maupun alam," tulis Dietz dalam laporannya.
Leonard Borchert, salah satu peneliti dalam studi ini, menambahkan bahwa pemanasan global mengurangi efektivitas perdagangan internasional sebagai peredam kegagalan panen.
"Jika semua wilayah utama terkena dampak secara bersamaan, ketersediaan jagung global bisa menurun drastis," terangnya.

Penelitian ini mempertegas pentingnya membatasi pemanasan global di bawah 2°C, seraya mengembangkan varietas tanaman yang lebih tangguh dan strategi adaptasi lokal untuk menghadapi iklim ekstrem di masa depan.
Baca Juga: Sirine Bahaya Krisis Iklim Berbunyi Keras: Saatnya Pendidikan Jadi Garda Terdepan!
Situasi Indonesia: Alarm untuk Ketahanan Pangan Nasional
Sebagai negara agraris yang 70% penduduknya bergantung pada sektor pertanian, Indonesia berada dalam posisi rawan. Berbagai indikator menunjukkan bahwa perubahan iklim mulai menggerus ketahanan pangan nasional:
1. Penurunan Produktivitas Padi
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata Indonesia naik 0,3°C dalam 30 tahun terakhir. Kenaikan 1°C saja bisa menurunkan hasil panen padi hingga 10%. Provinsi seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah telah mencatat penurunan produktivitas.
2. Perubahan Pola Curah Hujan
Musim tanam terganggu akibat hujan yang tak menentu dan musim kemarau yang makin panjang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan luas panen padi sebesar 2,15% pada 2023 dibanding tahun sebelumnya.
3. Serangan Hama Meningkat
Suhu lebih hangat mempercepat siklus hidup hama seperti wereng cokelat. Kementerian Pertanian melaporkan peningkatan kerugian akibat serangan hama sebesar 15% dalam lima tahun terakhir.
4. Kenaikan Permukaan Air Laut
Intrusi air asin mengancam sawah-sawah di pesisir utara Jawa. Wilayah seperti Karawang dan Demak kehilangan sekitar 1.500 hektare lahan produktif per tahun.
5. Kekeringan Akibat El Niño
BNPB mencatat bahwa pada 2023, sebanyak 3,2 juta hektare lahan pertanian terdampak kekeringan akibat El Niño yang kian intens.
Komoditas Paling Rentan
Beras sebagai makanan pokok utama menghadapi penurunan kualitas gabah, terutama saat suhu tinggi melanda fase pengisian bulir.
Jagung dan kedelai juga terdampak stres air dan ketergantungan terhadap pola hujan yang stabil. Tanaman hortikultura seperti cabai dan tomat semakin sulit dikendalikan produksinya, menyebabkan harga fluktuatif di pasar.
Jalan Keluar: Adaptasi dan Mitigasi yang Terintegrasi
Pemerintah telah merespons dengan sejumlah program, antara lain pengembangan varietas tahan kekeringan dan penerapan sistem irigasi hemat air. Namun, menurut para ahli, upaya ini belum cukup.
Langkah-langkah tambahan yang perlu diperkuat antara lain:
- Diversifikasi pangan lokal agar tidak terlalu bergantung pada satu komoditas.
- Penguatan sistem peringatan dini bencana iklim.
- Investasi dalam teknologi pertanian presisi.
- Edukasi petani tentang praktik pertanian berkelanjutan.
- Kolaborasi lintas sektor dan internasional untuk membangun ketahanan sistem pangan global.
Pendekatan konstruktif terhadap krisis ini mengajak semua pihak untuk melihat peluang dalam tantangan. Dengan langkah cepat dan kolaboratif, Indonesia dan dunia dapat mencegah skenario terburuk. Menjaga suhu bumi tetap di bawah ambang 2°C bukan sekadar target iklim, melainkan kunci menjaga pangan tetap tersedia untuk generasi mendatang.