Soeharto Bukan Pahlawan! Aktivis 98 Tolak Gelar Pemberian Gelar dengan Tengkorak di Panggung

Sabtu, 24 Mei 2025 | 17:30 WIB
Soeharto Bukan Pahlawan! Aktivis 98 Tolak Gelar Pemberian Gelar dengan Tengkorak di Panggung
Para aktivis 1998 kembali mempertanyakan warisan Soeharto dalam diskusi bertajuk “Refleksi Reformasi: Soeharto Pahlawan atau Penjahat HAM?” yang digelar di Jakarta, Sabtu 24 Mei 2025. [Suara.com/Yaumal]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Setelah lebih dari dua dekade pascareformasi, para aktivis 1998 kembali mempertanyakan warisan Soeharto dalam diskusi bertajuk “Refleksi Reformasi: Soeharto Pahlawan atau Penjahat HAM?” yang digelar di Jakarta, Sabtu 24 Mei 2025.

Diskusi dihadiri ratusan orang yang terdiri dari aktivis '98, masyarakat hinga mahasiswa.

Terlihat mereka kompak mengenakan ikat kepala berwarna putih bertuliskan, 'Soeharto Bukan Pahlawan.'

Seorang aktivis 98, Mustar Bonaventura menyebut bahwa mereka dengan tegas menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. 

Menurut mereka, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto oleh negara mencederai semangat reformasi. 

"Kami keberatan dan ini jauh dari nilai-nilai dari yang kami perjuangkan, lahirnya reformasi di tahun 98," kata Mustar kepada wartawan. 

Selain itu terdapat pula tengkorak yang menghiasai panggung diskusi, di antaranya dipajang foto sejumlah aktivis 1998 yang gugur. 

Akitvis '98 lainnya, Jimly Fajar menyebut bahwa tengkorak tersebut sebagai simbol korban pelanggaran HAM pada era Soeharto. 

"Bahwa dulu ada petrus, penculikan aktivis, kemudian kasus tanah, Marsinah, Widji Tukul, dan lain sebagainya, Kedung Ombo,  begitu banyak  rakyat atau masyarakat Indonesia yang tidak ditemukan sampai sekarang. Dari sini sudah terpampang kawan-kawan kita yang banyak hilang dan sampai saat ini belum kembali," kata Jimmy. 

Baca Juga: Antara Marsinah dan Soeharto: Siapa Layak Jadi Pahlawan?

Dia pun menyebut rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bertentangan dengan cita-cita reformasi. 

"Ini belum seperti yang kita harapkan. Apa yang kita perjuangkan pada tahun 1998 dan sebelumnya ini jauh betul dari cita-cita,  dan apa yang kita ingin perjuangkan pada saat 1998," ujarnya. 

Adapun pemantik dalam diskusi tersebut di antaranya, pengamat politik Ray Rangkuti, Dosen UNJ Ubaidillah Badrun, Mustar, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah, Bonaventura, Abraham Samad, Beka Ulung Hapsara. 

Sebelumnya, Aktivis 98, Masinton Pasaribu menyatakan bahwa wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. 

"Kalau Pak Harto diberikan gelar pahlawan, terus yang memperjuangkan aktivis gerakan reformasi itu pada saat itu ya berarti pengkhianatan. Ini kan perlu kita renungkan," katanya kepada wartawan usai menghadiri Sarasehan Peringatan Reformasi 1998 di Jakarta, Rabu 21 Mei 2025. 

"Maka menurut saya, polemik pemberian gelar itu kita nggak usah diteruskan," kata Masinton.

Menurutnya, Sejarah Indonesia harus terus berjalan dan tidak menafikan perjuangan rakyat dalam menuntut perubahan.

"Karena apapun sejarah ini kan kita berjalan terus. Bahwa reformasi, perubahan itu kan menjadi tuntutan zaman dan tuntutan sejarah hingga saat ini. Maka saya mengajak perenungannya di situ," ucapnya.

Masinton menekankan bahwa gerakan reformasi pada 1998 menjadi titik penting dalam sejarah Indonesia yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan. 

Sejumlah aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti Aksi Kamisan ke-857 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (10/4/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Peserta aksi Kamisan menunjukan foto Presiden RI ke-2 Soeharto dalam aksi penolakan pemberian gelar pahlawan kepada mantan pemimpin Orde Baru tersebut. [Suara.com/Alfian Winanto]

Menurutnya, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan menafikan kontribusi besar gerakan tersebut.

Terkait syarat formal pemberian gelar pahlawan nasional, seperti tidak pernah memiliki catatan hukum atau pelanggaran hak asasi manusia, Masinton kembali menegaskan pentingnya berpijak pada sejarah yang utuh.

"Maka saya katakan, ini sejarah kan kita mesti berjalan terus. Ya pemberian gelar itu ya jangan dulu," ucapnya.

Sementara itu, Ketua SETARA Institute Hendardi menegaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan menjadi simbol dan penegas bagi kebangkitan Orde Baru atau ‘Kebangkitan Cendana’. 

Glorifikasi Soeharto dengan memberinya gelar pahlawan nasional akan mendeligitimasi Reformasi sebagai gerakan politik untuk melawan otoritaritarianisme dan menegakkan supremasi sipil pada 1998. 

Secara sosial, lanjut Hedardi, gelar pahlawan nasional bagi Soeharto hanya akan menciptakan kontradiksi dan kebingungan pada generasi muda dan generasi masa depan yang tidak secara langsung bersentuhan dan memiliki pengalaman hidup pada Pemerintahan Orde Baru. 

"Gelar pahlawan nasional bagi Soeharto seperti ‘menghapus’ sejarah kejahatan rezim di masa lalu dan menciptakan kontradiksi serta kebingunan kolektif tentang seorang pemimpin politik yang dilengserkan karena akumulasi kejahatan yang terjadi, namun pada saat yang sama sosok itu bergelar pahlawan nasional," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI