Viral Pengantin Anak di Lombok Tengah, Apa Bahaya Pernikahan Dini bagi Kesehatan dan Mental?

Bella Suara.Com
Minggu, 25 Mei 2025 | 10:26 WIB
Viral Pengantin Anak di Lombok Tengah, Apa Bahaya Pernikahan Dini bagi Kesehatan dan Mental?
Ilustrasi pernikahan dini. (chatGPT)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Fenomena pernikahan dini kembali mencuat ke permukaan setelah viralnya video pasangan pengantin remaja asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Dalam video yang beredar luas di media sosial, terlihat seorang siswi SMP berinisial YL (15) dan seorang siswa SMK berinisial RN (16) menjalani prosesi pernikahan.

Ironisnya, si pengantin perempuan tampak belum siap secara mental.

Ia bahkan terlihat emosional dan berteriak-teriak memanggil ayahnya saat duduk di pelaminan.

Kasus ini bukanlah yang pertama terjadi, dan sayangnya, mungkin bukan yang terakhir.

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram menyatakan keprihatinan mendalam atas kejadian tersebut.

Joko Jumadi, Ketua LPA Kota Mataram, mengatakan pihaknya akan melaporkan para pihak yang membiarkan pernikahan dini itu terjadi, termasuk orangtua anak. “Harus ada efek jera,” tegasnya.

Namun lebih dari sekadar pelanggaran aturan atau etika sosial, pernikahan dini adalah bom waktu yang mengancam masa depan anak, baik secara psikologis maupun kesehatan.

Berikut penjelasan mendalam mengapa pernikahan anak merupakan masalah serius yang harus dihentikan.

Baca Juga: 8 Tips Cegah Anak Jadi Korban Kejahatan Seksual, Termasuk dari Orang Terdekat

1. Ketidaksiapan Psikologis Anak

Pernikahan adalah ikatan sosial, emosional, dan tanggung jawab hukum yang menuntut kedewasaan dalam berpikir dan bertindak.

Anak usia 15 atau 16 tahun masih berada dalam tahap perkembangan emosional yang belum stabil.

Mereka masih belajar mengenal diri, mengatur emosi, dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.

Contoh nyata tampak dari video pengantin perempuan YL yang berteriak, dan tidak mampu mengendalikan emosinya.

Hal ini mencerminkan bahwa ia belum siap menghadapi tekanan dan ekspektasi dalam kehidupan pernikahan.

Anak yang menikah dini berisiko tinggi mengalami tekanan psikologis seperti stres, kecemasan, depresi, bahkan trauma.

Konflik rumah tangga yang seharusnya bisa diselesaikan secara dewasa justru dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena keduanya belum memiliki kematangan emosional.

2. Terputusnya Pendidikan dan Masa Depan Anak

Pernikahan dini hampir selalu diiringi dengan putus sekolah.

Dalam kasus YL dan RN, besar kemungkinan mereka akan menghentikan pendidikan untuk fokus pada rumah tangga.

Hal ini secara otomatis memotong peluang mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik melalui jalur pendidikan dan karier.

Anak perempuan yang menikah muda biasanya akan terbatas aksesnya untuk mengembangkan diri dan mandiri secara ekonomi.

Ketergantungan pada pasangan juga bisa memperparah ketimpangan dalam hubungan, bahkan membuat mereka sulit keluar dari pernikahan yang tidak sehat.

3. Risiko Kesehatan yang Mengintai

Dari sisi kesehatan, anak perempuan yang menikah dini berisiko tinggi mengalami komplikasi saat kehamilan dan persalinan.

Tubuh remaja belum sepenuhnya matang untuk mengandung dan melahirkan.

Menurut data WHO, komplikasi saat hamil dan melahirkan merupakan penyebab utama kematian bagi anak perempuan usia 15-19 tahun di seluruh dunia.

Kehamilan dini juga meningkatkan risiko bayi lahir prematur, berat badan lahir rendah, dan kematian bayi.

Selain itu, pengetahuan minim tentang kesehatan reproduksi juga membuat anak rentan terhadap infeksi, termasuk penyakit menular seksual.

4. Lingkaran Kemiskinan yang Tak Terputus

Pernikahan dini kerap menjadi bagian dari siklus kemiskinan.

Ketika anak putus sekolah, menikah, lalu memiliki anak di usia muda, peluang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup semakin kecil.

Tanpa pendidikan dan keterampilan kerja yang memadai, keluarga baru ini akan sulit mandiri secara ekonomi dan berisiko besar hidup dalam kemiskinan.

Anak dari pasangan yang menikah muda juga berpeluang besar mengulang pola yang sama: menikah muda, putus sekolah, dan kembali terjebak dalam rantai kemiskinan struktural.

5. Tanggung Jawab Sosial dan Penegakan Hukum

Pernikahan anak di bawah umur bukan hanya urusan keluarga, tapi tanggung jawab sosial yang harus dicegah oleh seluruh elemen masyarakat.

Dalam banyak kasus, seperti yang terjadi di Desa Mujur, pembiaran oleh orangtua dan lingkungan menjadi faktor utama pernikahan dini terus terjadi.

Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Pernikahan di bawah usia tersebut hanya bisa dilakukan dengan izin pengadilan, dan itu pun seharusnya menjadi pengecualian, bukan norma.

Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga keagamaan harus proaktif dalam menyosialisasikan bahaya pernikahan dini.

Pengawasan terhadap praktik perjodohan anak juga perlu ditingkatkan, serta memberi pendampingan psikologis dan pendidikan kepada anak-anak dan keluarganya.

Kasus viral pengantin remaja asal Lombok Tengah bukan hanya kisah pilu dua anak yang kehilangan masa kecilnya.

Ini adalah cerminan nyata bagaimana pernikahan dini masih menjadi praktik yang "dimaklumi" dalam budaya kita, padahal efeknya sangat merusak.

Anak-anak harusnya tumbuh, belajar, dan bermain—bukan dibebani tanggung jawab rumah tangga yang belum sanggup mereka pikul.

Sudah waktunya semua pihak bersatu menghentikan pernikahan dini, demi masa depan generasi penerus yang lebih sehat, cerdas, dan bahagia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI