suara hijau

Peneliti Ungkap Celah di Regulasi Keuangan Berpotensi Greenwashing, Bagaimana Mencegahnya?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Selasa, 27 Mei 2025 | 09:00 WIB
Peneliti Ungkap Celah di Regulasi Keuangan Berpotensi Greenwashing, Bagaimana Mencegahnya?
Ilustrasi Uang - Aturan Pemotongan Gaji Karyawan Swasta (Unsplash)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di tengah peningkatan minat terhadap investasi berkelanjutan, praktik greenwashing atau pencitraan palsu atas klaim ramah lingkungan justru makin meresahkan.

Padahal, keuangan berkelanjutan diyakini menjadi kunci untuk menghadapi krisis iklim dan membangun ekonomi yang tangguh. Peneliti OJK Institute, Sanjung Purnama Budiarjo, menilai bahwa celah dalam regulasi dan pemahaman teknis menjadi penyebab utama masih maraknya praktik ini.

“Yang pertama adalah aturan yang tidak terstandardisasi. Aturan yang ambigu memungkinkan perusahaan membentuk narasi seolah-olah berkelanjutan, tanpa bukti dampak nyata,” ujarnya seperti dikutip dari ANTARA.

Greenwashing terjadi ketika perusahaan mempromosikan produk, kebijakan, atau inisiatifnya sebagai ‘hijau’ atau ramah lingkungan, padahal tidak melakukan upaya signifikan untuk mendukung kelestarian lingkungan.

Menurut Sanjung, perbedaan standar antarnegara terkait pelaporan keberlanjutan membuka ruang manipulasi perusahaan cenderung memilih standar yang paling longgar atau menguntungkan mereka.

Selain itu, publik dan investor juga menghadapi asymmetric information atau ketimpangan informasi.

“Data terkait praktik berkelanjutan perusahaan masih sulit diakses, belum konsisten, dan kadang tidak dapat diverifikasi. Ini menghambat publik untuk menguji klaim keberlanjutan secara objektif,” tambahnya.

Masalah lain adalah kesenjangan kapasitas teknis dari pemangku kepentingan. Banyak investor belum memiliki pemahaman mendalam untuk menilai aspek ESG (Environmental, Social, Governance).

Akibatnya, mereka hanya mengandalkan informasi dari perusahaan tanpa alat atau pengetahuan untuk menilai apakah klaim tersebut valid.

Dampak greenwashing cukup serius. Bukan hanya merusak reputasi perusahaan yang bersangkutan, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik dan investor terhadap seluruh ekosistem keuangan berkelanjutan. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa merugikan ekonomi karena mengalihkan dana dari proyek-proyek hijau yang seharusnya mendapatkan dukungan.

Baca Juga: Besok Demo Besar Ojol, 500 Ribu Pengemudi Matikan Aplikasi

Data tahun 2023 mencatat, terdapat 199 insiden greenwashing di sektor jasa keuangan global—setara dengan 12 persen dari total kasus greenwashing.

Angka ini menempatkan sektor keuangan sebagai penyumbang insiden terbesar kedua setelah industri minyak dan gas.

Regulasi Berperan Penting

Dalam paper Juan Dempere berjudul Unveiling the Truth: Greenwashing in Sustainable Finance (2020), dijelaskan bahwa regulasi memegang peranan penting untuk mencegah praktik greenwashing. Regulasi seperti Taksonomi UE dan panduan lingkungan dari berbagai negara bertujuan memberikan standar yang jelas agar perusahaan tidak sembarangan mengklaim produknya ramah lingkungan.

Contohnya, Uni Eropa mengembangkan Taksonomi UE—klasifikasi kegiatan ekonomi berkelanjutan—sebagai acuan perusahaan dan investor agar tidak asal klaim "hijau."

Di AS, Komisi Perdagangan Federal (FTC) menerbitkan Green Guides, sementara Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) mengatur transparansi risiko iklim. Inggris juga aktif lewat investigasi oleh Otoritas Persaingan dan Pasar (CMA).

Tiongkok pun memiliki kebijakan pengungkapan lingkungan lewat UU Perlindungan Lingkungan dan Kebijakan Sekuritas Hijau. Namun, lemahnya penegakan dan kurangnya standar spesifik jadi tantangan bersama.

Para peneliti menilai efektivitas regulasi masih terbatas jika hanya bersifat sukarela. Penegakan hukum yang lemah memungkinkan perusahaan terus melakukan greenwashing karena risikonya lebih kecil daripada keuntungan citra dan finansial yang diperoleh.

Selain negara, lembaga dan LSM juga punya peran besar. ISO mengembangkan standar pelabelan lingkungan untuk cegah klaim palsu. LSM seperti Greenpeace dan Rainforest Action Network aktif membongkar praktik greenwashing, memberi tekanan publik, dan menyediakan informasi bagi konsumen dan investor. Mereka juga mendorong akuntabilitas dan regulasi yang lebih kuat.

Juan menegaskan bahwa, regulasi saja tak cukup. Dibutuhkan kombinasi antara hukum yang tegas, tekanan publik, serta keterlibatan aktif lembaga dan LSM untuk benar-benar melawan greenwashing.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI