Suara.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, berharap praktik perkawinan anak seperti yang terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak berulang kembali.
Ia menegaskan kalau perkawinan usia anak memiliki dampak serius terhadap masa depan anak, mulai dari putus sekolah, stunting, hingga rendahnya capaian pendidikan secara nasional.
Apa yang terjadi di Lombok itu, Arifah menegaskan bahwa termasuk bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan adat maupun budaya.
“Pernikahan yang terjadi di Lombok Tengah jelas merupakan bentuk perkawinan usia anak, karena anak laki-laki berusia 17 tahun dan perempuan masih 15 tahun. Menikahkan anak berarti melanggar hak dasar anak, termasuk hak atas pendidikan, perlindungan, dan tumbuh kembang yang layak,” kata Arifah dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025).
Dia mengingatkan kalau batas usia minimal untuk menikah di Indonesia ialah 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menteri Arifah kemudian mengingatkan bahwa menikahkan anak bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat berujung pada sanksi pidana maupun administratif.
Lebih lanjut, Arifah menegaskan bahwa perkawinan usia anak bukan hanya masalah pribadi atau keluarga, melainkan persoalan sosial dan pembangunan nasional.
Ia menyebutkan bahwa praktik ini berdampak pada tingginya angka putus sekolah, meningkatnya prevalensi stunting, serta rendahnya rata-rata lama sekolah, terutama di daerah dengan praktik perkawinan anak yang tinggi.
“Mengurangi praktik perkawinan anak berarti melindungi anak-anak dari dampak jangka panjang, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun sosial. Usia adalah indikator penting kesiapan untuk menikah, dan negara wajib memastikan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung mereka menjadi generasi sehat dan cerdas,” pesan Menteri Arifah.
Baca Juga: Viral Pengantin Anak di Lombok Tengah, Apa Bahaya Pernikahan Dini bagi Kesehatan dan Mental?
![Pernikahan anak viral di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat [Tangkapan Layar]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/27/83550-pernikahan-viral-lombok-tengah.jpg)
Kendati begitu, Arifah juga menyampaikan apresiasi atas langkah yang telah dilakukan aparat desa seperti Kepala desa, kepala dusun, Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) dengan telah berupaya mencegah terjadinya praktik perkawinan anak di NTB itu dan melaporkannya ke Polres Mataram.
“Aparat desa dan orang tua dikabarkan telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah pernikahan anak ini. Namun, pasangan tersebut tetap bersikeras untuk menikah," kata dia.
"Tentu ini merupakan langkah yang amat baik dari lingkungan, namun juga menjadi cerminan bahwa langkah preventif yang lebih dini harus dilakukan bersama, sehingga pemahaman tentang pencegahan perkawinan anak bisa masuk ke ruang keluarga,” Arifah menambahkan.
Seperti banyak diberitakan, pernikahan murid SMP dengan SMK di Lombok Tengah itu jadi perbincangan publik setelah viral di media sosial. Pasangan yang menikah itu ialah mempelai perempuan berinisial SMY (15), asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dengan pria berinisial SR (17), asal Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Dari video yang beredar, publik merasa janggal dengan kondisi mental mempelai perempuan karena gelagat SMY ketika prosesi nyongkolan atau pernikahan adat Sasak dinilai tidak normal.
Dalam video yang diunggah akun Facebook @Dyiok Stars, tampak mempelai perempuan berjoget sambil berjalan menuju kuade atau pelaminan. Ia berjalan sambil ditandu oleh dua perempuan dewasa. Tingkah lakunya itu dinilai janggal oleh sejumlah warganet karena nampak seperti orang stres.