suara hijau

Waspada Pencemaran Sungai, Ancaman Bahan Kimia Abadi Mengintai Sumber Air Indonesia

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Kamis, 29 Mei 2025 | 20:01 WIB
Waspada Pencemaran Sungai, Ancaman Bahan Kimia Abadi Mengintai Sumber Air Indonesia
Ilustrasi pencemaran sungai - polusi air. (Photo by Yogendra Singh/Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Air, sebagai elemen vital bagi kehidupan, kini menghadapi krisis kualitas yang semakin kompleks. Di tengah upaya mengatasi kontaminasi mikrobiologis yang telah lama menjadi tantangan, Indonesia juga mulai dihantui oleh bahaya senyawa kimia yang sangat persisten dan sulit terurai.

Salah satu kelompok senyawa yang kini menjadi perhatian global adalah Per- and Polyfluoroalkyl Substances atau PFAS, yang kerap dijuluki sebagai "bahan kimia abadi" (forever chemicals).

Polusi Air: Lebih dari Sekadar Limbah Domestik

Polusi air di Indonesia terjadi ketika air di sungai, danau, pantai, maupun air tanah terkontaminasi oleh zat-zat berbahaya.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, dari 111 sungai yang diidentifikasi di Indonesia, hanya 8,1% yang memenuhi baku mutu kualitas air, sementara sisanya mengalami berbagai tingkat pencemaran.

Selain itu, sekitar 76% sungai-sungai utama di Indonesia telah mengalami pencemaran dalam tingkat yang cukup mengkhawatirkan, dengan limbah manusia menyumbang sekitar 80% dari total pencemaran tersebut .

Sumber pencemarnya beragam, mulai dari limbah rumah tangga yang tidak terolah, limpasan pupuk dan pestisida dari pertanian, limbah industri, hingga kontaminan dari kegiatan pertambangan.

Ilustrasi pencemaran sungai - polusi air. (Photo by Denniz Futalan/Pexels)
Ilustrasi pencemaran sungai - polusi air. (Photo by Denniz Futalan/Pexels)

Semua ini menyebabkan penurunan kualitas air yang tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga membawa dampak serius bagi kesehatan manusia.

Kontaminasi mikrobiologis, seperti bakteri dan virus, masih menjadi ancaman besar di Indonesia, terutama di wilayah dengan infrastruktur sanitasi yang belum memadai.

Baca Juga: Atasi Polusi di Perkotaan, KLH Fokus pada Kawasan Industri dan Bangun Sistem Peringatan Dini

Menurut data dari Survei Kualitas Air (SKA) 2015 yang terintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pengujian terhadap kualitas air minum menunjukkan adanya kontaminasi patogen mikrobiologi, termasuk E. coli, di berbagai wilayah Indonesia.

Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sanitasi yang tidak memadai berkontribusi terhadap kontaminasi mikrobiologis di sumber air, yang dapat berdampak pada kesehatan masyarakat.

Namun, tantangan kini bertambah rumit dengan hadirnya senyawa kimia kompleks seperti PFAS. Senyawa ini tidak hanya sulit dideteksi dan diolah, tetapi juga bertahan di lingkungan dalam jangka waktu yang sangat lama.

PFAS: Kimia Abadi yang Tak Terurai

Melansir laman US Environmental Protection Agency (EPA), PFAS adalah kelompok senyawa sintetis yang telah digunakan sejak tahun 1940-an.

Berkat sifatnya yang tahan air, minyak, dan panas, PFAS banyak dipakai dalam produk sehari-hari seperti peralatan masak antilengket, pakaian tahan air, busa pemadam kebakaran, hingga kemasan makanan.

Namun, keunggulan ini justru menjadi bumerang: ikatan karbon-fluorin yang menyusun PFAS sangat kuat, sehingga membuatnya nyaris tidak bisa terurai oleh proses alami.

PFAS dapat masuk ke dalam sistem air melalui berbagai jalur, seperti limbah industri, rembesan dari tempat pembuangan sampah, hingga penggunaan produk yang mengandung senyawa ini.

Ketika masuk ke lingkungan, PFAS tidak hanya mencemari air, tapi juga terakumulasi dalam tubuh manusia dan hewan, memicu berbagai gangguan kesehatan serius.

Sejumlah penelitian mengaitkan paparan PFAS dengan gangguan hormon, masalah kesuburan, penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan risiko kanker.

Indonesia: Rentan Namun Belum Siap

Seiring meningkatnya perhatian global terhadap PFAS, sejumlah penelitian lokal juga mulai mengungkap kehadiran senyawa ini di Indonesia.

Studi yang dilakukan Nexus3 Foundation dan IPEN menemukan PFAS dalam produk konsumen seperti pakaian sintetis dan kemasan makanan yang beredar di pasaran. Lebih dari 60% sampel yang diuji menunjukkan kadar PFAS yang melampaui batas aman yang diusulkan Uni Eropa.

Ironisnya, meski ancaman sudah nyata, Indonesia belum memiliki kerangka regulasi khusus untuk PFAS. Tidak adanya standar nasional untuk mengukur, membatasi, atau mengelola keberadaan PFAS membuat negara ini sangat rentan terhadap risiko jangka panjang.

Tanpa regulasi yang tegas, industri tidak memiliki dorongan kuat untuk menghentikan penggunaan senyawa ini, dan masyarakat pun tidak mendapatkan perlindungan yang memadai.

Dari Regulasi ke Transformasi Produk

Menghadapi ancaman PFAS tidak cukup dengan solusi teknis pada akhir rantai, seperti sistem penyaringan atau pengolahan limbah.

Diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh, mulai dari perombakan desain produk, pelarangan penggunaan bahan kimia berbahaya, hingga edukasi konsumen agar lebih kritis terhadap isi produk yang mereka gunakan.

Sejumlah negara telah memulai langkah-langkah ini. Uni Eropa, misalnya, tengah mendorong pelarangan penggunaan PFAS dalam berbagai sektor. Amerika Serikat juga mulai menerapkan batas maksimum PFAS dalam air minum.

Indonesia dapat belajar dari praktik-praktik ini untuk merancang kebijakan yang tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga menjaga kesehatan masyarakat jangka panjang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI