Suara.com - Di tengah jeritan keprihatinan global dan seruan mendesak untuk penyelamatan "surga terakhir di bumi" Raja Ampat dari ancaman tambang nikel, pernyataan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, justru menuai kritik tajam.
Saat mendampingi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia meninjau Pulau Gag, Raja Ampat, Sabtu (7/6/2025), Tri Winarno menyatakan bahwa reklamasi lahan tambang nikel di sana sudah "cukup bagus".
Tri Winarno menambahkan bahwa luas lahan Pulau Gag yang dibuka untuk pertambangan nikel "tidak terlalu besar". Ia menyoroti bahwa dari total 263 hektare bukaan lahan, 131 hektare sudah direklamasi dan 59 hektare di antaranya dianggap berhasil. Berdasarkan pantauan Tri dari helikopter, tidak terlihat adanya sedimentasi di area pesisir, sehingga ia menyimpulkan, "Secara keseluruhan, tambang tak ada masalah", seperti yang dikutip dari Antara.
Pandangan optimis dari Dirjen Minerba ini menuai sorotan di tengah laporan-laporan yang mengkritik aktivitas tambang nikel di Raja Ampat. Terlebih, kini "Surga terkahir di Bumi" itu terancam oleh aktivitas tambang pula.
Kritik terhadap pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, semakin menguat. Sikap Dirjen Minerba ini viral usai sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti angkat suara. Susi, yang dikenal vokal dalam isu lingkungan, bahkan secara terbuka melayangkan permohonan mendesak kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera menghentikan aktivitas penambangan tersebut. "Yth. Bapak Presiden @prabowo @Gerindra mohon dengan sangat, hentikan penambangan di Raja Ampat ini. Salam hormat," tulis Susi di akun X (Twitter) pribadinya, Jumat (6/6/2025), seraya menambahkan, "Sebaiknya hentikan selamanya". Seruan ini jelas menunjukkan bahwa ada kekhawatiran mendalam yang tidak bisa hanya diatasi dengan klaim "reklamasi cukup bagus."
Permintaan Susi Pudjiastuti tidak muncul tanpa alasan. Sebelumnya, laporan mengejutkan dari Greenpeace Indonesia telah mengungkap adanya aktivitas tambang nikel di beberapa pulau di Raja Ampat, termasuk Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Laporan Greenpeace ini bukan sekadar kekhawatiran tanpa dasar; organisasi lingkungan internasional ini secara eksplisit mengungkapkan bahwa tambang di lima pulau kecil di Raja Ampat telah merusak lebih dari 500 hektare hutan dan mengancam 75% terumbu karang terbaik dunia di kawasan tersebut.
Ini adalah angka yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi pukulan telak bagi citra Raja Ampat sebagai episentrum keanekaragaman hayati laut global. Namun, Dirjen Minerba Tri Winarno tampaknya hanya melihat dari kacamata tambang semata, mengabaikan potensi bencana ekologis yang lebih luas.
Greenpeace bahkan secara terang-terangan menuduh aktivitas tambang ini melanggar Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang seharusnya secara ketat melindungi wilayah-wilayah seperti Raja Ampat. Lalu, bagaimana mungkin pemerintah melalui Dirjen Minerba bisa menyatakan "tidak ada masalah" sementara fakta di lapangan menunjukkan kerusakan hutan ratusan hektare dan ancaman terhadap terumbu karang terbaik dunia? Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang standar penilaian lingkungan yang digunakan oleh Kementerian ESDM, dan apakah komitmen perlindungan lingkungan benar-benar menjadi prioritas utama.
Untuk diketahui, PT Gag Nikel (GN) merupakan anak usaha dari PT ANTAM Tbk. BUMN yang dituntut menjalankan praktik pertambangan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Namun, dengan kendali penuh atas PT Gag Nikel sejak 2008, ANTAM kini bertanggung jawab penuh atas dampak lingkungan dari operasi tambang tersebut.
Baca Juga: Bahlil Lahadalia Tuding Ada Pihak Asing pada Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat
Meskipun aktivitas pertambangan PT GAG Nikel dihentikan sementara berdasarkan instruksi Menteri ESDM, pernyataan Dirjen Minerba Tri Winarno ini viral di tengah upaya untuk meminimalisir masalah sebelum inspektur tambang memberikan laporan resmi, atau bahkan sebagai indikasi bahwa pemerintah cenderung membela industri pertambangan, meskipun itu berarti mengorbankan kelestarian lingkungan yang tak ternilai harganya.
Raja Ampat bukan hanya sekadar destinasi wisata populer biasa, lokasi ini adalah rumah bagi 75% terumbu karang terbaik dunia, pesonanya telah menarik jutaan wisatawan, peneliti, dan pecinta alam dari seluruh penjuru planet. Keindahan bawah lautnya yang tak tertandingi dan keanekaragaman hayati yang luar biasa telah menjadikan Raja Ampat sebagai simbol komitmen global terhadap konservasi laut.
Laporan kerusakan hutan seluas lebih dari 500 hektare dan ancaman terhadap terumbu karang adalah pukulan telak bagi citra Raja Ampat dan Indonesia di mata dunia. Dampak dari aktivitas tambang ini bukan hanya terbatas pada Pulau Gag; polusi air dan sedimentasi dapat menyebar luas, mengancam seluruh keindahan Raja Ampat yang telah mendunia.