Suara.com - Perjalanan panjang perusahaan tambang PT Gag Nikel dalam memperoleh dan mempertahankan izin pertambangan di wilayah Pulau Gag, Raja Ampat, menjadi kisah yang sarat dinamika antara regulasi, kepentingan investasi, dan keberlanjutan lingkungan.
Perusahaan ini berdiri pada 1998 sebagai hasil kerja sama antara raksasa tambang asal Australia, BHP Billiton, melalui anak usahanya Asia Pacific Nickel yang memegang 75 persen saham), dan PT Aneka Tambang (ANTAM) sebagai perusahaan milik negara Indonesia memegang 25 persen.
Kontrak Karya (KK) Generasi VII PT Gag Nikel ditandatangani langsung oleh Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998, menjadikan perusahaan ini resmi beroperasi di bawah naungan hukum pertambangan Indonesia.
Namun, perjalanan tak mulus. Pada tahun 2004, terbitnya Keputusan Presiden No. 41 tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan pengecualian bagi 13 perusahaan tambang, termasuk PT Gag Nikel, untuk tetap beroperasi di kawasan hutan lindung.
Hal ini menjadi kontroversial karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan terbuka di kawasan tersebut.
Dilansir dari laporan RMI, pemerintah saat itu beralasan bahwa 13 perusahaan ini telah mengantongi Kontrak Karya sebelum lahirnya UU Kehutanan, sehingga diberikan dispensasi khusus.
Kondisi kepemilikan berubah drastis pada 2008. BHP Billiton memutuskan untuk menarik diri dari proyek ini, dan seluruh kepemilikan dialihkan ke PT ANTAM, yang selanjutnya menguasai penuh PT Gag Nikel.
Meskipun Asia Pacific Nickel masih terdaftar di Australia, kontrol operasional berada sepenuhnya di tangan BUMN Indonesia tersebut.
Konsesi yang dikuasai PT Gag Nikel di Pulau Gag sangat luas, mencapai 13.136 hektare, dengan rincian daratan 6.060 hektare dan lautan 7.076 hektare. Ini berarti hampir seluruh wilayah daratan pulau Gag yang hanya memiliki luas 6.500 hektare termasuk dalam konsesi perusahaan.
Baca Juga: Susi Pudjiastuti Bongkar Fakta Tambang Swasta di Raja Ampat, Sindir Balik Menteri ESDM Bahlil
Satu persoalan hukum lain muncul: UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pulau kecil dengan luas kurang dari 200.000 hektare tidak diperbolehkan menjadi lokasi aktivitas pertambangan.
Pulau Gag termasuk dalam kategori ini. Maka, keberadaan Gag Nikel pun kembali menjadi sorotan.
Pro Kontra Tambang Nikel
Dalam konteks inilah, pada Sabtu, 7 Juni 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melakukan kunjungan langsung ke Pulau Gag.
Kunjungan ini dilakukan sebagai tanggapan atas berbagai laporan dan protes yang mencuat ke publik terkait dugaan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang di pulau tersebut.
Namun, berbeda dari yang ramai diberitakan, masyarakat Pulau Gag justru menyambut Bahlil dengan spanduk dan sorakan yang meminta agar kegiatan operasional tambang tidak dihentikan.