suara hijau

Menagih Transparansi dan Keadilan dalam Dokumen Iklim Indonesia

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 19 Juni 2025 | 12:54 WIB
Menagih Transparansi dan Keadilan dalam Dokumen Iklim Indonesia
Seorang aktivis menunjukkan poster saat melakukan aksi protes terkait perubahan iklim di Kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Minggu (26/9/2021). [Suara.com/Alfian Winanto]

Suara.com - Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyampaikan kritik tajam terhadap proses penyusunan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia. Bagi mereka, proses yang tengah berjalan saat ini tidak mencerminkan semangat keterbukaan dan partisipasi publik yang semestinya menjadi dasar dalam kebijakan iklim.

Pernyataan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, yang menyebut pentingnya SNDC yang “realistis, inklusif, dan dapat dieksekusi,” dinilai belum tercermin dalam praktik. ARUKI menyerukan agar prinsip tersebut diterjemahkan secara konkret melalui proses penyusunan yang transparan, inklusif, serta berpihak pada keadilan iklim—bukan sekadar justifikasi untuk menurunkan ambisi pengurangan emisi.

Krisis iklim di Indonesia bukan lagi ancaman masa depan. Banjir bandang, kekeringan panjang, longsor, badai ekstrem, hingga kenaikan permukaan laut menjadi bukti nyata bahwa krisis ini telah mengancam keselamatan dan kesejahteraan jutaan rakyat, terutama mereka yang berada di garis paling rentan.

Dalam situasi seperti ini, setiap kebijakan iklim tak boleh disusun secara tertutup, apalagi mengabaikan suara kelompok terdampak.

Proses Terjadinya Perubahan Iklim. (Pexels)
Proses Terjadinya Perubahan Iklim. (Pexels)

Salah satu sorotan utama ARUKI adalah terbatasnya akses publik terhadap rancangan dokumen SNDC. Kurangnya transparansi ini membuat keterlibatan publik menjadi formalitas belaka.

Padahal, keterbukaan informasi adalah syarat utama agar masyarakat dapat memahami, mengkritisi, dan berkontribusi terhadap arah kebijakan iklim nasional. Ketika informasi hanya beredar di lingkaran sempit pengambil kebijakan, maka kepercayaan publik pun turut terkikis.

Bukan hanya soal akses informasi, penyusunan SNDC juga dinilai mengabaikan peran dan suara kelompok rentan. Perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani kecil, dan nelayan tradisional—kelompok-kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim—tidak dilibatkan secara bermakna. Minimnya pelibatan mereka mencerminkan lemahnya komitmen negara terhadap keadilan iklim. Kebijakan yang mengabaikan mereka bukan hanya tidak adil, tapi juga berisiko memperburuk ketimpangan sosial dan melemahkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi krisis.

Keadilan iklim hanya bisa terwujud jika suara kelompok rentan menjadi dasar kebijakan. Mengabaikan mereka adalah bentuk ketidakadilan struktural yang harus diubah,” ujar Torry Kuswardono dari Yayasan Pikul.

Lebih jauh, ARUKI menilai bahwa penggunaan istilah "realistis" dalam penyusunan SNDC perlu diwaspadai. Istilah ini, jika tak dijabarkan secara jujur dan progresif, dapat menjadi dalih untuk menurunkan komitmen mitigasi iklim Indonesia.

Baca Juga: Bawa Botol Minum Sendiri: Kebiasaan Kecil yang Selamatkan Laut dan Iklim

Padahal, sebagai negara yang memiliki hutan tropis terluas kedua di dunia, Indonesia memegang peran strategis dalam menjaga kestabilan iklim global. Komitmen yang telah disampaikan dalam dokumen ENDC dan FOLU Net Sink 2030 semestinya ditegakkan, bukan dikendurkan.

"Komitmen Indonesia dalam SNDC seharusnya tidak lebih lemah dari ENDC. Krisis iklim sudah terjadi, di mana target 1,5°C secara global juga diprediksi akan terlewati. Target FOLU Net Sink 2030 sebaiknya tidak dikurangi, bahkan harus lebih ambisius karena merupakan wajah diplomasi Indonesia. Tidak hanya itu, SNDC juga seharusnya dapat merefleksikan komitmen peningkatkan kapasitas energi terbarukan global hingga tiga kali lipat pada 2030", ujar Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL.

Kritik lain yang disampaikan ARUKI adalah kontradiksi antara pernyataan politik dengan praktik pembangunan yang terjadi di lapangan. Di satu sisi, pemerintah menyatakan komitmen menurunkan emisi. Namun di sisi lain, proyek-proyek seperti food estate, hutan tanaman industri, tambang, dan pariwisata justru terus diperluas.

Proyek semacam ini tak hanya meningkatkan risiko deforestasi dan degradasi lingkungan, tetapi juga meminggirkan kelompok rentan dari ruang hidup dan sumber penghidupan mereka.

Menteri Kehutanan menyebut bahwa kebijakan harus mempertimbangkan “kepentingan domestik, ekonomi, dan politik.” Tapi dalam praktiknya, kepentingan itu justru sering kali berbenturan dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan.

"Keadilan iklim mewajibkan Indonesia harus mampu merumuskan aksi dan strategi adaptasi dan mitigasi yang adil, baik antara negara Selatan - Utara, maupun antar wilayah satu dengan wilayah lainnya di Indonesia. Pembangunan kebun pangan (food estate) di Merauke misalnya, atas nama ketahanan pangan nasional, pemerintah tidak boleh mengorbankan rakyat Papua beserta alamnya dengan membongkar hutan dan wilayah adat milik Masyarakat Adat Papua untuk program cetak sawah baru dan perkebunan tebu. Program ini sudah pasti tidak sesuai dengan aksi mitigasi, sekaligus membunuh resiliensi rakyat Papua untuk beradaptasi di tengah situasi krisis iklim yang mengancam mereka", ujar Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI