Putusan MK soal Pemilu Dipisah Sudah Final, DPR Mau Ambil Langkah Apa?

Jum'at, 27 Juni 2025 | 19:00 WIB
Putusan MK soal Pemilu Dipisah Sudah Final, DPR Mau Ambil Langkah Apa?
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, MK sudah memutuskan pemisahan Pemilu nasional dan lokal, saat ini DPR masih belum menentukan sikap.[ANTARA/Mario Sofia Nasution]

Suara.com - Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa pihaknya belum bisa memberikan tanggapan secara menyeluruh terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal.

Dasco mengatakan, DPR RI masih akan mengkaji lebih lanjut isi putusan tersebut sebelum menentukan sikap.

"Kita akan mengkaji dahulu putusan itu," kata Dasco kepada wartawan, Jumat (27/6/2025).

Ia menambahkan bahwa saat ini DPR belum dapat memastikan apakah putusan MK itu nantinya akan berpengaruh terhadap proses Revisi Undang-Undang Pemilu atau tidak.

"Saya belum bisa jawab karena kita kan belum mengkaji. Kalau sudah kajiannya komprehensif, ya mungkin semua pertanyaan kita bisa jawab. Ini keputusannya baru kemarin, jadi ya kita belum bisa jawab," ujarnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi resmi memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan pemilu daerah kini harus dilakukan secara terpisah.

Pemisahan ini disertai jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pleno di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Putusan MK merupakan respons atas permohonan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), melalui Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Irmalidarti.

Baca Juga: Putusan MK Pisah Pemilu Disebut 'Masuki Ranah Legislatif', Sinyal Perlawanan dari Senayan?

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jika tidak dimaknai secara berbeda untuk ke depannya.

Selama ini, pelaksanaan pemilu nasional dan lokal sering kali dilakukan secara serentak dalam satu tahun yang sama.

Namun, menurut MK, pola ini dinilai menyulitkan proses demokrasi dan menghambat efektivitas pemerintahan.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad saat memberi keterangan. [Suara.com]
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad belum membeberkan langkah yang akan dilakukan DPR usai MK memutuskan pemisahan pemilu nasional dan daerah. [Suara.com]

Sementara, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB, Muhammad Khozin menilai bahwa putusan MK tersebut sebagai sebuah paradoks.

Ia menyatakan bahwa dalam putusan sebelumnya, MK telah memberikan enam opsi model keserentakan pemilu.

"Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020 memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi—ini paradoks," kata Khozin di Jakarta, Jumat (27/6/2025).

Menurutnya, MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan pemilu.

"Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU," tegasnya.

Khozin menambahkan, dalam pertimbangan hukum angka 3.17 pada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 secara tegas disebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilu.

“Putusan 55 cukup jelas. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyadari bahwa urusan model keserentakan bukan domain MK. Tapi sekarang justru MK yang menentukan model keserentakan,” ujarnya.

Ia menyayangkan putusan MK terbaru yang dinilai bertolak belakang dengan putusan sebelumnya.

Menurutnya, putusan ini berpotensi menimbulkan implikasi konstitusional, baik terhadap kewenangan lembaga pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, maupun teknis pelaksanaannya.

“Implikasi putusan MK ini cukup komplikatif. Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah pentingnya hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan,” tuturnya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI