Skandal e-KTP Setya Novanto: dari Rugikan Negara Triliunan Rupiah hingga Hukuman Diringankan

Bella Suara.Com
Rabu, 02 Juli 2025 | 15:04 WIB
Skandal e-KTP Setya Novanto: dari Rugikan Negara Triliunan Rupiah hingga Hukuman Diringankan
Setya Novanto, terpidana dalam kasus korupsi e-KTP, tampak hadir dalam sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu, 28 Agustus 2019. [Suara.com/Arya Manggala]

Suara.com - Nama Setya Novanto pernah begitu lekat dengan citra korupsi kelas kakap di Indonesia.

Mantan Ketua DPR RI sekaligus politisi senior Partai Golkar ini menjadi pengingat bagaimana kekuasaan bisa dimanfaatkan untuk mengeruk uang negara dalam jumlah fantastis.

Dan kini, setelah hampir satu dekade berlalu sejak kasusnya pertama kali mencuat, publik kembali dibuat tercengang: Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan memangkas hukumannya menjadi hanya 12 tahun 6 bulan penjara.

Skandal Besar: Korupsi Proyek e-KTP

Kisah ini bermula dari proyek ambisius pemerintah: pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang nilainya mencapai Rp5,9 triliun.

Proyek yang seharusnya memperbaiki sistem administrasi kependudukan itu malah menjadi bancakan sejumlah elit politik dan pejabat.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki dugaan korupsi yang merugikan negara hingga lebih dari Rp2,3 triliun.

Setya Novanto menjadi tokoh sentral dalam pusaran skandal tersebut.

Ia disebut menerima aliran dana haram sebesar US$7,3 juta dan sejumlah uang dalam bentuk rupiah.

Dalam proses hukum, jaksa KPK menyebut Setnov menggunakan pengaruhnya sebagai Ketua Fraksi Golkar saat itu untuk mengatur proyek e-KTP agar menguntungkan kelompoknya.

Baca Juga: Kadis PUPR Sumut Kena OTT KPK, Proyek Jalan Rp231 Miliar Jadi Bancakan?

Manuver Politik dan Drama Hukum

Publik tentu masih ingat berbagai drama hukum yang melingkupi kasus ini.

Mulai dari “hilangnya” Setya Novanto ketika akan ditangkap KPK, hingga kecelakaan mobil yang membuatnya masuk rumah sakit dalam kondisi penuh perban — momen yang oleh banyak orang dianggap sebagai bagian dari sandiwara menghindari proses hukum.

Namun pada akhirnya, Setnov berhasil dibawa ke meja hijau.

Pada April 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsidair 6 bulan, serta pencabutan hak politik selama 5 tahun.

Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti setara jumlah yang diterimanya secara ilegal.

Putusan tersebut sempat dianggap sebagai salah satu kemenangan besar dalam pemberantasan korupsi.

Banyak pihak menilai bahwa vonis 15 tahun untuk seorang tokoh sekuat Setnov adalah bukti bahwa hukum bisa menjangkau siapa saja — meski lambat dan penuh hambatan.

PK Diajukan, Hukuman Diringankan

Setya Novanto. (Suara.com/Yasir)
Setya Novanto. (Suara.com/Yasir)

Namun cerita belum usai. Pada 6 Januari 2020, Setnov melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK).

Prosesnya berlangsung lama — 1.956 hari atau lebih dari lima tahun — hingga akhirnya Mahkamah Agung resmi membacakan putusan pada 4 Juni 2025.

MA memutuskan untuk mengurangi hukuman Setya Novanto menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.

Denda tetap Rp500 juta subsidair 6 bulan, dan uang pengganti tetap wajib dibayarkan — dengan ketentuan subsidair 2 tahun penjara jika tidak dilunasi.

Namun yang juga berubah adalah masa pencabutan hak politiknya: dari 5 tahun menjadi hanya 2,5 tahun setelah selesai menjalani masa tahanan.

Putusan ini dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai Surya Jaya, dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono.

Wendy Pratama Putra bertugas sebagai panitera pengganti. Dalam dokumen resminya, MA menyatakan bahwa Setnov terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Publik Bertanya: Di Mana Rasa Keadilan?

Meski putusan PK adalah bagian dari prosedur hukum yang sah, publik tetap berhak bertanya: apakah pantas hukuman koruptor kelas kakap yang merugikan negara triliunan rupiah justru diringankan?

Di tengah kepercayaan masyarakat yang terus digerogoti oleh kasus demi kasus pelemahan pemberantasan korupsi, putusan ini seolah menjadi tamparan.

Apalagi, Setnov dikenal sebagai sosok yang punya jaringan politik dan ekonomi luas.

Banyak yang khawatir bahwa putusan ini akan menciptakan preseden buruk dalam pemberantasan korupsi ke depan.

Kasus Setya Novanto adalah cermin gelap wajah birokrasi dan politik Indonesia.

Dari skandal e-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah, hingga berbagai drama hukum yang menyertainya, kini masyarakat harus kembali menghadapi kenyataan pahit: hukuman sang pelaku utama justru dipangkas.

Dan begitulah cerita lama yang terus berulang: harapan akan keadilan sering kali harus tunduk pada kekuatan kuasa dan celah hukum.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI