Suara.com - Gagasan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk berkantor di Papua memantik diskursus nasional.
Disampaikan dengan gaya santai khasnya, rencana ini seketika menjadi sorotan, bukan hanya karena signifikansinya secara politis, tetapi juga karena menyorot langsung salah satu isu paling pelik di Indonesia yakni konflik dan keamanan di Tanah Cenderawasih.
Meski telah diklarifikasi bahwa yang akan dibangun adalah kantor sekretariat untuk Badan Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang dipimpin Wapres, bukan pemindahan permanen Istana Wakil Presiden, substansinya tetap sama: Gibran berkantor di Papua.
Bagi kaum muda dan milenial yang mendambakan perubahan, gagasan ini bisa dilihat sebagai dua sisi mata uang.
Di satu sisi, ini adalah sinyal kuat komitmen pemerintah untuk terjun langsung mengatasi ketimpangan.
Di sisi lain, ini adalah pertaruhan besar di wilayah di mana suara desing peluru masih menjadi bagian dari realitas sehari-hari.
Simbolisme di Balik Meja Kerja di Papua
Rencana Gibran ini melanjutkan amanat Undang-Undang Otsus Papua yang menempatkan wakil presiden sebagai ketua badan koordinasi.
Namun, dengan memilih untuk memiliki basis operasional di Papua, Gibran mengirimkan pesan yang melampaui tugas administratif.
Baca Juga: Komnas HAM Ungkap Banyak Konflik di Papua yang Masih Terjadi, Bisakah Diselesaikan Oleh Wapres?
Ini adalah sebuah simbolisme kuat. Selama bertahun-tahun, banyak masyarakat Papua merasa Jakarta terlalu jauh, baik secara geografis maupun secara perhatian. Kehadiran fisik seorang wakil presiden—bahkan secara periodik—bertujuan untuk memangkas jarak tersebut.
"Bagi saya, sebagai pembantu Presiden harus sering ke daerah, harus sering berdialog… menerima masukan, kritikan, evaluasi, apa pun itu," ucap Gibran, menekankan niatnya untuk menyerap aspirasi langsung dari masyarakat.
Langkah ini diharapkan dapat mempercepat realisasi program-program yang sudah berjalan, seperti pengiriman laptop dan persiapan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang beberapa kali telah ditinjau oleh tim Gibran.
Tujuannya jelas memastikan pembangunan tidak hanya dirasakan di pusat, tetapi merata hingga ke ujung timur Indonesia.

Menantang Realitas: Ujian Keamanan di Zona Merah
Di sinilah gagasan idealis bertemu dengan kenyataan pahit. Rencana Gibran untuk intensifikasi kehadiran di Papua akan menjadi ujian keamanan yang sangat serius.
Data sepanjang tahun 2024 hingga 2025 menunjukkan eskalasi kekerasan yang mengkhawatirkan.
Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus aktif melancarkan serangan. Tidak hanya menyasar aparat TNI-Polri, tetapi juga warga sipil, termasuk guru, tenaga kesehatan, hingga pekerja.
Beberapa wilayah seperti Kabupaten Puncak Jaya, Yahukimo, dan Intan Jaya kerap disebut sebagai zona merah operasi militer.
Kehadiran pejabat setingkat wakil presiden di wilayah ini akan menuntut operasi pengamanan super ketat yang melibatkan ribuan personel.
Risiko menjadi target, baik secara langsung maupun tidak langsung, sangatlah nyata. Beberapa pertanyaan krusial yang muncul di benak publik, khususnya anak muda yang kritis, adalah:
Protokol Keamanan: Bagaimana negara akan menjamin keselamatan seorang Wakil Presiden beserta stafnya di tengah ancaman serangan sporadis yang sulit diprediksi?
Potensi Eskalasi: Akankah kehadiran Gibran dilihat sebagai "pamer kekuatan" yang justru memprovokasi OPM untuk meningkatkan serangan, atau sebaliknya, bisa membuka celah untuk dialog?
Fokus Aparat: Apakah pengerahan sumber daya besar untuk melindungi Wapres justru akan mengurangi fokus aparat dalam melindungi pos-pos keamanan dan masyarakat di daerah terpencil?
Konflik yang berlarut-larut ini adalah akar dari lambatnya pembangunan di banyak wilayah.
Menurut data KontraS, dari akhir 2023 hingga 2024, terjadi puluhan peristiwa kekerasan yang menewaskan dan melukai warga sipil, dengan pelaku dari kedua belah pihak yang berkonflik.
Pembangunan Manusia: Apakah Kehadiran Fisik Cukup?
Pada akhirnya, tujuan utama dari semua ini adalah peningkatan kesejahteraan dan pembangunan manusia di Papua.
Secara data, ada kabar baik. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua pada tahun 2024 naik menjadi 73,83. Angka kemiskinan juga dilaporkan menurun.
Namun, angka rata-rata ini menutupi jurang ketimpangan yang dalam.
IPM Kota Jayapura yang mencapai 81,98 sangat kontras dengan Kabupaten Mamberamo Raya yang hanya 59,48.
Wilayah-wilayah dengan IPM terendah inilah yang sering kali menjadi basis konflik dan paling sulit dijangkau oleh layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Kehadiran Gibran di Papua harus lebih dari sekadar seremoni. Untuk benar-benar efektif, "berkantor di Papua" harus berarti:
Mengawal Langsung Proyek Vital: Memastikan dana Otsus benar-benar sampai ke masyarakat dalam bentuk sekolah yang layak, puskesmas yang berfungsi, dan infrastruktur yang membuka isolasi.
Membuka Ruang Dialog: Menggunakan kehadirannya untuk berdialog dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh adat, tokoh agama, dan perwakilan pemuda, untuk memahami akar masalah dari perspektif mereka.
Memastikan Keamanan Warga: Menjadikan perlindungan warga sipil sebagai prioritas utama dalam setiap kebijakan keamanan yang diambil.
Gagasan Gibran adalah sebuah langkah berani yang patut diapresiasi, namun sarat dengan tantangan.
Ini adalah pertaruhan yang hasilnya akan sangat bergantung pada eksekusi di lapangan.
Apakah ini akan menjadi babak baru bagi percepatan pembangunan Papua atau hanya akan menjadi catatan kaki politik yang berisiko tinggi? Waktu yang akan menjawabnya.