Suara.com - Sengketa perbatasan Ambalat antara Indonesia dan Malaysia memasuki babak baru. Namun, kesepakatan yang tampak sebagai angin segar justru dinilai menyimpan bara dalam sekam jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Sorotan ini mengemuka menyusul kesepakatan kerja sama yang disetujui Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim terkait pengelolaan bersama wilayah laut Ambalat di Laut Sulawesi.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana, menilai kesepakatan yang dicapai kedua pemimpin negara tersebut baru sebatas solusi sementara yang rapuh.
Menurutnya, meski kedua negara berhak mengelola dan membagi hasilnya, akar masalah sesungguhnya belum tersentuh.
Andi menegaskan, kerja sama ini mutlak memerlukan kejelasan mengenai penetapan batas wilayah definitif bagi kedua negara agar tidak menjadi polemik yang meledak di masa depan.
"Tetap harus ada kesepakatan batas wilayah nantinya apakah dibagi dua atau Indonesia mendesak Malaysia untuk memiliki wilayah tersebut. Jangan sampai kesepakatan saat ini kemudian dianggap menjadi final," kata Andi, dalam keterangannya yang diterima Suara.com.
Potensi Konflik di Balik Harta Karun Ambalat
![KRI Bima Suci bersama berlayar di Perairan Ambang Batas Laut (Ambalat), Nunukan, Kalimantan Utara, Senin (13/9/2021). [ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/09/13/68293-pengibaran-bendera-merah-putih-di-mercusuar-ambalat.jpg)
Lebih jauh, Andi menyoroti perlunya pengawasan ketat terhadap implementasi kerja sama ini.
Pasalnya, kawasan Ambalat bukan sekadar perairan biasa. Wilayah ini adalah 'harta karun' yang menyimpan kekayaan minyak, gas, hingga biota laut yang sangat melimpah.
Baca Juga: Belajar Dari Brasil: Prabowo Incar Teknologi Pertanian & Biofuel untuk Ketahanan Pangan Indonesia
Kekayaan alam inilah yang membuat Ambalat menjadi rebutan dan rawan konflik. Belum lagi dengan maraknya kasus penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) yang kerap ditemukan di area sengketa tersebut. Tanpa adanya kedaulatan yang jelas, penegakan hukum menjadi mandul.
"Sengketa Ambalat ini tentunya menjadi hambatan bagi Indonesia untuk memberlakukan kebijakan demi melindungi ekosistem laut," tuturnya.
Ia berharap kesepakatan sementara ini tidak menjadi zona nyaman yang melenakan, melainkan pemicu untuk mencapai tujuan akhir.
"Kita harapkan kesepakatan tersebut dapat menjadi jembatan pada keputusan akhir garis batas wilayah laut Indonesia dan Malaysia di Selat Makassar," imbuhnya.
Sejarah Panjang Klaim Sepihak

Menurut pemaparan Andi, sengketa ini berakar dari belum adanya kesepakatan garis batas laut antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan, Indonesia. Sejarah mencatat, kedua negara sama-sama pernah saling klaim secara sepihak.
Pada periode 1966-1970, Indonesia sudah lebih dulu melakukan pengelolaan minyak di wilayah tersebut tanpa persetujuan Malaysia. Dasarnya adalah penarikan garis dari pulau-pulau terluar sebagai acuan batas wilayah, menganggap seluruh laut di selatan adalah milik Indonesia.
Namun, peta berubah pada tahun 1979 saat Malaysia secara mengejutkan menerbitkan peta baru yang mengklaim sebagian wilayah laut di selatan, termasuk area yang sudah dieksploitasi Indonesia.
"Sebetulnya baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama melakukan klaim sepihak. Sampai saat itu juga belum ada kesepakatan," terangnya.
Ironisnya, meski sengketa memanas, eksploitasi terus berjalan. Indonesia menjalankan proyek di Blok Bukat dan Sebawang, yang jika dicermati justru berada di area klaim sepihak Malaysia.
Puncaknya, pada 1999, Indonesia secara resmi menetapkan Ambalat seluas 15.235 kilometer persegi sebagai blok minyak dan gas. Sengketa terus berlanjut hingga 2005, di mana Malaysia juga ikut melakukan pengelolaan di area klaimnya.
Artinya, selama puluhan tahun, Indonesia dan Malaysia sama-sama mengeruk sumber daya di wilayah yang sama tanpa ada kesepakatan kepemilikan.
"Kalau dilihat dari kacamata netral hukum wilayah laut ya memang ini belum milik siapa-siapa. Namun perlu ditegaskan ada overlapping claim di sini. Tidak semua wilayah Selat Makassar adalah Ambalat," pungkasnya.