Suara.com - Rompi oranye ikonik itu akan segera memiliki "teman baru": wajah yang terbuka tanpa masker. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara terang-terangan sedang menggodok sebuah aturan yang berpotensi mengubah wajah penegakan hukum korupsi di Indonesia.
Wacana untuk melarang para tahanan menutup wajahnya saat ditampilkan di hadapan publik telah dilempar, memicu perdebatan fundamental tentang esensi keadilan, efek jera, dan hak asasi manusia.
Langkah ini, yang dikonfirmasi oleh Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, menandakan pergeseran strategi. Dari yang semula hanya fokus pada proses hukum, kini KPK tampaknya ingin menambah "hukuman sosial" sebagai senjata baru.
"Hal ini sedang kami bahas di internal," ujar Budi, mengisyaratkan keseriusan lembaga antirasuah tersebut.
Namun, pertanyaan yang lebih besar muncul: apakah ini sebuah terobosan cerdas, atau sebuah langkah mundur yang populis namun rapuh secara yuridis?
Logika 'Membuat Malu' vs Asas Praduga Tak Bersalah
Argumentasi utama di balik wacana ini sangat jelas dan mudah dipahami publik: menciptakan efek jera melalui rasa malu. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menjadi pendukung paling vokal gagasan ini.
Ia bahkan mengajak media untuk mendorong isu ini agar masuk dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Teman-teman media sampaikan ke publik, dan publik kemungkinan akan memberikan masukan kepada DPR untuk mengubah aturan ini, yakni apabila seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi ditangkap dan ditahan, kemudian perlu di-publish, nah, itu harus diperlihatkan supaya mereka malu, dan ini perlu diatur dalam undang-undang," kata Tanak.
Baca Juga: Babak Baru Kasus Chromebook: Usai Kantor GoTo Digeledah, Kejagung Panggil Ulang Nadiem Makarim
Secara sepintas, logika ini terdengar masuk akal. Koruptor, yang sering kali merupakan figur publik dengan status sosial tinggi, dianggap akan gentar jika wajah mereka dipajang untuk dicemooh publik. Namun, di sinilah letak pertarungan ideologisnya.
Di satu sisi ada upaya menciptakan efek jera, di sisi lain ada prinsip suci dalam hukum: asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Seseorang yang baru ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan statusnya masih terduga. Proses peradilan belum berjalan, dan putusan inkrah belum diketuk. Dengan membuka wajah mereka secara paksa, KPK berisiko melakukan trial by the press atau penghakiman oleh media dan publik.
Ini adalah bentuk hukuman sebelum adanya putusan hukum, sebuah praktik yang sangat dihindari dalam negara hukum modern.
Sebuah Senjata Tumpul?
Analisis yang lebih tajam mempertanyakan efektivitas dari "rasa malu" itu sendiri. Apakah seorang pejabat yang berani menilap miliaran rupiah uang negara benar-benar akan jera hanya karena wajahnya terpampang di layar kaca?
Bagi sebagian koruptor kelas kakap, rasa malu mungkin sudah menjadi kemewahan yang tidak lagi mereka miliki. Kalkulasi mereka adalah untung-rugi materiil, bukan soal harga diri.
Efek jera yang sesungguhnya tidak terletak pada panggung seremonial penangkapan, melainkan pada kepastian hukum: proses penyidikan yang kuat, tuntutan yang maksimal, vonis yang berat, dan yang terpenting, perampasan seluruh aset hasil korupsi hingga mereka jatuh miskin.
Fokus pada upaya pemiskinan koruptor dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu diyakini jauh lebih menakutkan daripada sekadar parade tanpa masker selama beberapa menit.
Wacana ini juga bisa dilihat sebagai sebuah gejala. Ketika efektivitas pemberantasan korupsi secara substantif dirasa menurun—ditandai dengan revisi UU KPK, pelemahan status pegawai, dan sejumlah kontroversi lainnya—maka lembaga bisa jadi terdorong untuk mencari kemenangan-kemenangan simbolis.
Menampilkan wajah tersangka adalah sebuah pertunjukan yang mudah dicerna dan memuaskan dahaga publik akan "keadilan instan," namun bisa jadi mengalihkan perhatian dari pekerjaan rumah yang lebih rumit dan fundamental.
KPK mengklaim kajian internal sedang dilakukan untuk menyusun mekanisme yang jelas.
"KPK akan menyusun pengaturan atau mekanismenya, dan menjadi pedoman bagi seluruh pihak-pihak terkait, khususnya tahanan yang dilakukan pemeriksaan,” kata Budi Prasetyo.
Namun, pedoman tersebut harus mampu menjawab dilema besar: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan transparansi dan efek jera dengan perlindungan hak-hak dasar seorang terduga yang belum terbukti bersalah di pengadilan.