Suara.com - Cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045 dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 bisa runtuh. Salah satu penyebabnya sistem transportasi yang masih boros emisi dan belum adil secara akses.
Pemerintah Prabowo-Gibran didesak segera mengembangkan strategi mobilitas rendah emisi dan berkelanjutan.
Tanpa kebijakan dan perencanaan yang terkoordinasi, Indonesia akan menghadapi lonjakan emisi gas rumah kaca (GRK), peningkatan konsumsi serta impor bahan bakar minyak.
Ketimpangan sosial dalam akses mobilitas pun makin melebar.
![Bus listrik. [dok Pemkot Medan]](https://media.suara.com/pictures/original/2024/12/24/60810-bus-listrik.jpg)
Institute for Essential Services Reform (IESR) baru saja merilis laporan Indonesia Sustainable Mobility Outlook (ISMO) 2025, Senin (14/7).
Laporan ini disusun dengan dukungan dari ViriyaENB dan Drive Electric Campaign.
Strategi yang ditawarkan bersandar pada pendekatan Avoid–Shift–Improve (ASI). Tujuannya jelas: menciptakan sistem mobilitas yang bersih, efisien, dan inklusif.
Pendekatan ini terdiri dari tiga langkah. Mengurangi kebutuhan mobilitas (Avoid), mengalihkan ke moda transportasi rendah emisi (Shift), dan meningkatkan teknologi serta efisiensi (Improve).
Pendekatan terpadu ini dinilai mampu menekan emisi sektor transportasi hingga 76 persen pada 2060. Dari 561 juta ton menjadi 117 juta ton setara karbon dioksida.
Baca Juga: IKM Punya Peran Kunci Capai Target Net Zero Emissions 2050, Apa Saja Tantangannya?
Namun, 24 persen emisi tersisa masih berasal dari transportasi barang yang belum mendapat intervensi khusus dalam kajian ini.
Strategi Shift memberikan kontribusi terbesar. Jika pangsa transportasi umum ditingkatkan hingga 40 persen, potensi pengurangan emisinya mencapai 101 juta ton.
Sementara strategi Improve, seperti adopsi kendaraan listrik dalam skala besar, diproyeksikan bisa menurunkan emisi hingga 210 juta ton. Jumlah itu setara penggunaan 66 juta mobil dan 143 juta motor listrik.
Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) IESR, menekankan pentingnya penerapan strategi ASI secara bersamaan dan konsisten.
“Pada tahun 2024, emisi dari sektor transportasi menyumbang 202 juta ton setara karbon dioksida atau sekitar 25 persen dari total emisi sektor energi nasional. Tanpa upaya serius, emisi ini bisa meningkat hampir tiga kali lipat pada 2060,” ujarnya.
Fabby juga menambahkan bahwa tanpa strategi dekarbonisasi, dampaknya akan makin luas.