suara hijau

Revisi UU Kehutanan Harus Akhiri Warisan Kolonial dan Lindungi Ruang Hidup Warga

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Selasa, 15 Juli 2025 | 11:01 WIB
Revisi UU Kehutanan Harus Akhiri Warisan Kolonial dan Lindungi Ruang Hidup Warga
Masyarakat adat. (Dok. Istimewa)

Suara.com - Rancangan revisi Undang-Undang Kehutanan (UUK) tengah dibahas DPR RI. Ini adalah momen penting untuk mengakhiri warisan tata kelola hutan yang masih berwatak kolonial.

UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dianggap tak lagi mampu menjawab tantangan masa kini. Konflik lahan, deforestasi, hingga marjinalisasi masyarakat adat masih terus terjadi.

Pakar kehutanan menyebut, UUK bias daratan dan mengabaikan perspektif kepulauan. Bagi wilayah seperti Maluku dan Papua, ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi soal hilangnya ruang hidup dan sumber pangan.

Peneliti dari ICEL, Difa Shafira, menyatakan pokok materi revisi UUK yang dibahas Panja RUUK Komisi IV dan Badan Keahlian DPR RI tidak menyentuh akar persoalan.

“Pokok materi tersebut tidak menjawab masalah substansial dan masih mempertahankan pendekatan negara-sentris,” ujarnya. Difa menegaskan bahwa deforestasi seharusnya bisa dicegah dengan memperkuat sistem pemantauan dan penegakan hukum. UUK harus jadi perlindungan utama atas kekayaan sumber daya alam Indonesia.

“Fungsi hutan seharusnya hanya mengatur fungsi hutan pokok dan fungsi hutan cadangan untuk dipulihkan. Ini penting karena Indonesia punya komitmen di tingkat global untuk menekan laju deforestasi, yakni National Determined Contribution,” tegasnya.

Perubahan paradigma menjadi kunci.

- Seorang warga mendayung rakit di kawasan perhutanan sosial Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. ANTARA/Fandi Yogari
- Seorang warga mendayung rakit di kawasan perhutanan sosial Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. ANTARA/Fandi Yogari

“Dekolonisasi hutan mensyaratkan perubahan cara pandang—dari negara sebagai pengelola utama menjadi rakyat sebagai pilar utama,” kata Dr. Yance Arizona dari Fakultas Hukum UGM.

Ia mengkritik bahwa UUK masih bertentangan dengan semangat keadilan dalam UU Pokok Agraria (UUPA) yang membongkar doktrin kolonial domein verklaring.

Baca Juga: Konsesi dalam Bayang Konglomerat: Bisnis Karbon atau Kapitalisme Hijau?

Sajogyo Institute Kiagus M. Iqbal menambahkan, UUPA tidak melihat alam sebagai sekadar sumber daya teknokratis, melainkan sebagai Sumber-Sumber Agraria (SSA) yang merepresentasikan relasi sosial, ekologis, dan kultural.

“Asas ini adalah cara kolonial merampas tanah rakyat. Bagaimana mungkin tetap digunakan di era kemerdekaan?” tanyanya soal masih digunakannya asas domein verklaring dalam UUK.

Sorotan juga datang dari Erwin Dwi Kristianto dari HuMa yang mengkritik konsep Hak Menguasai Negara dalam UUK. Baginya, ini bukan bentuk perlindungan, melainkan legitimasi atas perampasan ruang hidup masyarakat.

“Padahal, banyak wilayah yang tidak pernah dikuasai raja maupun negara,” tegasnya.

Revisi UUK harus berpihak pada keadilan ekologis.

“Hutan harus dipandang sebagai bagian penting dari sistem penyangga kehidupan, bukan sekadar objek produksi,” ujar Mohamad Burhanudin dari Yayasan Kehati.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI