Viral Polisi Histeris Dijemput Propam: Teriakan Minta Tolong, Bukan Sekadar Pembangkangan?

Kamis, 17 Juli 2025 | 14:15 WIB
Viral Polisi Histeris Dijemput Propam: Teriakan Minta Tolong, Bukan Sekadar Pembangkangan?
Tangkapan layar seroang polisi yang bertugas di Polda Malut dijemput paksa oleh anggota lain di wilayah Ternate. (Instagram)

Suara.com - Sebuah video yang memperlihatkan seorang anggota polisi menangis histeris saat dijemput paksa oleh Propam di Ternate, Maluku Utara, baru-baru ini viral dan memicu berbagai reaksi.

Dalam video tersebut, oknum anggota Satuan Sabhara Polda Maluku Utara itu berteriak, "tolong-tolong saya tara mau jemput," sebuah pemandangan yang sontak menarik perhatian warga.

Pihak berwenang menyebut penjemputan ini terkait pelanggaran disiplin karena yang bersangkutan sering tidak masuk dinas.

Kapolres Ternate, AKBP Anita Ratna Yulianto, pun membenarkan kejadian tersebut, meski menegaskan oknum itu adalah anggota Polda Maluku Utara, bukan Polres Ternate.

Namun, di balik label "pelanggaran disiplin" dan "oknum", ada sebuah pertanyaan yang lebih besar dan jarang kita diskusikan: Apa yang sebenarnya terjadi di balik seragam mereka?

Apakah teriakan histeris itu murni pembangkangan, atau sebuah puncak dari tekanan mental yang tak tertahankan?

Di Balik Teriakan Histeris: Lebih dari Sekadar Malas?

Sangat mudah untuk mencap tindakan ini sebagai kemalasan atau ketidakdisiplinan.

Namun, insiden dramatis seperti ini sering kali merupakan gejala dari masalah yang jauh lebih dalam.

Baca Juga: Fatal! Dobrak Pintu Dikira Ada 'Pacar Gelap', Pria Ini Syok Tahu Siapa yang Dipukulnya

Bagi seorang aparat yang telah melalui pendidikan keras dan terikat sumpah, tindakan mangkir dari tugas hingga harus dijemput paksa adalah sebuah anomali.

Ini memaksa kita untuk melihat kemungkinan lain. Apakah ada tekanan kerja yang ekstrem? Masalah keluarga yang tak kunjung usai? Atau, isu yang paling sering diabaikan dalam institusi berseragam: kesehatan mental?

Sebuah studi tentang stres di kalangan personel Polri menunjukkan bahwa kondisi stres di kalangan anggota tergolong sangat tinggi, bahkan mencapai 96,04 persen pada bidang operasional.

Selain itu, data juga mengindikasikan bahwa sekitar 6,88 persen personel mengalami depresi level sedang hingga berat.

Sisi Gelap Kehidupan Aparat: Tekanan Batin yang Tak Terucap

Kehidupan seorang anggota polisi, terutama di level bawah, seringkali tidak seindah yang dibayangkan.

Mereka adalah manusia biasa yang terbungkus dalam ekspektasi publik yang luar biasa tinggi. Berikut adalah beberapa realita yang jarang sampai ke permukaan:

Beban Kerja Non-Stop: Polisi adalah salah satu profesi yang benar-benar siaga 24/7. Mereka dituntut siap kapan pun, mengorbankan waktu istirahat dan momen bersama keluarga.

Paparan Trauma Berkelanjutan: Setiap hari, mereka berhadapan langsung dengan kekerasan, kecelakaan fatal, kejahatan, dan penderitaan manusia. Akumulasi pengalaman traumatis ini dapat menyebabkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kecemasan, dan depresi.

Tekanan Ekonomi dan Kesejahteraan: Gaji yang terbatas, terutama bagi pangkat rendah, seringkali tidak sebanding dengan risiko dan beban kerja. Hal ini dapat memicu stres finansial yang berdampak pada keharmonisan rumah tangga.

Stigma dan Budaya Maskulin: Di lingkungan yang sangat maskulin, mengakui kelemahan atau mencari bantuan psikologis sering dianggap sebagai tanda kegagalan.

Akibatnya, banyak yang memilih memendam masalahnya sendiri hingga akhirnya "meledak".

Sorotan Publik dan Media: Setiap kesalahan kecil bisa menjadi viral dan memicu hujatan massa, menciptakan tekanan untuk selalu tampil sempurna di bawah pengawasan konstan.

Ketidakdisiplinan: Puncak Gunung Es dari Masalah Sistemik

Jadi, apakah ketidakdisiplinan seperti kasus di Ternate ini lumrah terjadi? Jawabannya, ya, pelanggaran disiplin dalam berbagai bentuk memang terjadi.

Namun, alih-alih hanya menghukum "oknum", institusi perlu melihat ini sebagai sebuah alarm.

Kasus-kasus seperti mangkir dari tugas, penyalahgunaan wewenang, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan aparat bisa jadi merupakan puncak gunung es dari masalah kesejahteraan dan kesehatan mental yang terabaikan.

Ketika seorang aparat berteriak histeris menolak dijemput Propam, mungkin itu bukan teriakan seorang pembangkang, melainkan teriakan minta tolong dari jiwa yang lelah dan tertekan.

Insiden ini adalah pengingat keras bahwa di balik seragam yang gagah, ada manusia dengan segala kerapuhannya.

Mendukung aparat bukan hanya dengan pujian saat mereka berprestasi, tetapi juga dengan mendorong adanya sistem dukungan psikologis yang lebih baik dan menghilangkan stigma terhadap isu kesehatan mental di tubuh institusi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI