Suara.com - Indonesia tengah berpacu dengan waktu. Untuk lepas dari status negara berpendapatan menengah dan menjadi negara maju, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-7 persen secara berkelanjutan.
Namun, jalan menuju cita-cita itu tidak mudah. Pemerintah mendorong hilirisasi sebagai salah satu strategi transformasi struktural menggeser ekonomi berbasis konsumsi dan ekspor komoditas mentah ke arah industri bernilai tambah.
Tapi, strategi ini justru menghadirkan dilema baru ekonomi tumbuh, tapi lingkungan terancam.
Ekonom dari Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar Susamto, menyebut hilirisasi nikel yang digadang-gadang menopang produksi baterai kendaraan listrik sebagai contoh nyata.
Di satu sisi, industri ini memberi dorongan ekonomi yang signifikan. Di sisi lain, praktiknya dinilai abai terhadap prinsip kehati-hatian ekologis.
“Manfaat ekonominya ada, tapi dampaknya muncul secara serius,” kata Akhmad dalam sebuah diskusi ““Paradoks Hilirisasi: Dilema di Balik Janji Energi Bersih”, Rabu (16/7/2025).
Ia merujuk pada banjir di Bahodopi, pencemaran logam berat di Pulau Obi, hingga deforestasi masif yang mencapai 500 ribu hektare.
Artinya, industri yang semestinya jadi tulang punggung transisi energi bersih justru menggerus daya dukung lingkungan.
Sementara itu, Sekretaris Satgas Percepatan dan Ketahanan Energi, Dani Setiawan, menilai hilirisasi sebagai “titik temu antara resource-based economy dan renewable economy”.
Baca Juga: Donald Trump Ketok Tarif Impor 19% untuk Indonesia
Menurutnya, ini adalah bagian dari restrukturisasi strategis untuk membangun ekonomi yang mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Tapi, ia juga mengakui tantangannya sangat besar: koordinasi lintas kementerian/lembaga belum solid, investasi strategis masih terbatas, dan industri hilirisasi banyak didominasi investor asing.
Lebih jauh, Dani menyebut hilirisasi seharusnya tidak semata berorientasi pada pertumbuhan, melainkan menjadi fondasi ketahanan energi nasional.
“Kita punya cadangan besar mineral kritis. Kalau dikelola dengan bijak, Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam rantai pasok energi global,” ujarnya.
Namun, jika pendekatan ekstraktif tetap dipertahankan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan keterlibatan pelaku dalam negeri, maka hilirisasi hanya akan menjadi jalan pintas menuju kerusakan ekologis, bukan jalan panjang menuju negara maju.