Suara.com - Rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali menuai badai kritik, terutama dari kelompok masyarakat sipil.
Salah satu titik api kritik datang dari pasal-pasal yang membuka peluang keterlibatan TNI dalam penyidikan tindak pidana umum—sebuah gagasan yang disebut-sebut bisa menggoyang fondasi supremasi sipil dalam sistem hukum Indonesia.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M Isnur, mengingatkan bahwa pasal-pasal ini tak ubahnya membuka kembali bab gelap sejarah—yakni dwifungsi ABRI—yang selama era Orde Baru menyatukan kekuasaan militer dan sipil dalam satu genggaman.
Hal itu disampaikan Isnur dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi III DPR RI, Senin, 21 Juli 2025.
"Di Pasal 7 ayat (5) nya, pasal 20 ayat (2) pun ini menurut kami membuka ruang bagi TNI untuk menjadi penyidik pada tindak pidana umum dan melakukan upaya paksa," kata Isnur.
Tak hanya itu, YLBHI juga mencermati pergeseran signifikan antara draf versi DPR dan versi pemerintah.
Jika sebelumnya keterlibatan TNI hanya dibatasi pada matra laut, versi terbaru justru menghapus frasa pembatas tersebut.
"Pasal 87 ayat (4) dan 92 ayat (4) misalnya mengatur bagaimana penangkapan dan penahanan oleh penyidik, pada versi semula DPR hanya menyantumkan frasa TNI Laut, namun dalam versi pemerintah frasa angkatan laut tersebut dihapuskan," ungkap Isnur.
"Menurut kami hal ini berbahaya, akan mengembalikan praktik dwifungsi ABRI dan akan mengacaukan sistem peradilan pidana," sambungnya.
Baca Juga: Jimly Asshiddiqie Sebut Peradilan RI Perlu Reformasi Total, Mafia Hukum Merajalela Tanpa Solusi
YLBHI khawatir hal ini berujung pada dualisme penyidikan, yang berisiko menimbulkan kekacauan koordinasi, tumpang tindih wewenang, serta pelanggaran hak asasi manusia.
"Pelibatan TNI di sini menurut kami sebagai penyidik kasus pidana umum potensial menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, pelanggaran HAM bisa terjadi dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, bahkan terhadap penetapan tersangka," tegasnya.
Atas dasar itu, YLBHI mendesak pasal tersebut dihapus total.
"Jadi menurut kami rekomendasinya apa? Ini dihapus saja ketentuan TNI menjadi penyidik dan juga dihapus frasa penyidik utama di penyidik kepolisian," ujar Isnur.
Komisi III: Aspirasi Tidak Akan Pernah Satu
Menanggapi gelombang penolakan, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa tidak mungkin semua aspirasi masyarakat dapat diakomodasi secara penuh dalam satu produk undang-undang.
"Kami perlu tegaskan bahwa apa yang tersaji dalam draft RUU berasal dari apa yang disampaikan masyarakat kepada kami ditambah apa yang kami ketahui sendiri saat berjuang menjadi advokat publik selama belasan tahun," kata Habiburokhman, Rabu, 16 Juli 2025.
Ia juga menyebut adanya dinamika perbedaan pandangan di masyarakat yang menyebabkan mustahilnya konsensus absolut.
"Namun demikian mustahil sebuah UU menyerap seluruh aspirasi dari seluruh elemen masyarakat. Sebab aspirasi masyarakat tidak sepenuhnya sama satu sama lain. Bahkan aspirasi Ketua Komisi III pun tidak sepenuhnya bisa diakomodir," lanjutnya.
Namun demikian, ia berkomitmen bahwa proses legislasi tetap akan terbuka dan partisipatif, sembari menegaskan urgensi menggantikan KUHAP yang berlaku sejak 1981.
"Yang perlu digarisbawahi, secara garis besar ikhtiar kami memastikan proses pembentukan UU KUHAP transparan dan partisipatif sudah maksimal. Begitu juga ketentuan-ketentuan penting yang sangat reformis sudah dimasukkan," tegas Habiburokhman.
"Saat ini sangatlah urgen untuk segera mengganti KUHAP 1981 dengan KUHAP baru yang jauh lebih berkualitas," pungkasnya.