Suara.com - Peringatan 41 tahun ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) di Indonesia diwarnai catatan pilu. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti fakta miris di lapangan; perempuan yang menjadi korban kekerasan justru sering kali dikriminalisasi atau diintimidasi balik oleh pelaku.
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menyatakan bahwa jurang antara semangat konvensi dan kenyataan di lapangan masih sangat lebar.
Data LPSK menunjukkan betapa rentannya posisi perempuan dalam kasus kekerasan. Sepanjang tahun 2024, dari 1.296 permohonan perlindungan untuk kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), mayoritas mutlak adalah perempuan.
"Dari angka ini, 1.082 pemohon adalah perempuan (83,4 persen), sedangkan laki-laki hanya 197 pemohon," ungkap Sri Nurherwati.
Tren ini berlanjut hingga Juli 2025, di mana dari 2.850 total permohonan perlindungan yang masuk, 50,8 persen adalah perempuan. Tiga jenis tindak pidana dengan permohonan tertinggi adalah kekerasan seksual, perdagangan orang (TPPO), dan KDRT, yang semuanya sangat rentan menyasar perempuan.
Korban Malah Jadi Tersangka
Yang lebih memprihatinkan, menurut Sri, sistem hukum terkadang belum berpihak. Masih ada kasus di mana perempuan yang menjadi korban justru balik dilaporkan atau diintimidasi hingga statusnya berbalik menjadi tersangka.
"Kondisi ini menegaskan bahwa penegakan hukum dan sistem perlindungan korban masih belum berjalan selaras dengan prinsip-prinsip CEDAW," tegasnya.
Hal ini menunjukkan adanya persoalan struktural dan kultural yang menempatkan perempuan dalam posisi tidak setara.
Baca Juga: Ancam Bunuh Ibu Korban Pakai Parang, Pria di Kubu Raya Tega Setubuhi Tetangganya
Menjawab tantangan ini, LPSK tidak hanya fokus pada perlindungan fisik. Layanan yang paling banyak diakses oleh para korban adalah fasilitasi restitusi (ganti rugi), pemenuhan hak prosedural selama proses hukum, dan rehabilitasi psikologis.
"Ketiganya menjadi aspek penting dalam pemulihan menyeluruh, baik dari sisi keadilan hukum, psikologis, maupun sosial-ekonomi," jelas Sri.
Sebagai komitmen, LPSK juga berbenah dari dalam dengan menyusun Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan internalnya. Langkah ini diambil untuk memastikan LPSK menjadi lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
LPSK pun mendorong pentingnya kolaborasi lintas lembaga, mulai dari aparat penegak hukum hingga kelompok masyarakat sipil, karena penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dinilai hanya akan berhasil jika semua pihak bekerja sama.