Suara.com - Pemerintah kembali membuka ruang diskusi tentang masa depan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia.
Wacana mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD kini mengemuka sebagai bagian dari upaya evaluasi atas mahalnya ongkos demokrasi langsung dan kompleksitas konflik horizontal yang mengikutinya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membenarkan bahwa topik ini tengah dibahas dalam rapat-rapat internal pemerintah.
Hal itu disampaikan Tito saat ditemui wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa, 29 Juli 2025.
"Ya di internal kita ada rapat."
"Pernah ada rapat. Kita hitung plus minusnya," ujarnya.
Menurut Tito, pembahasan ini sejalan dengan pandangan Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya juga menyuarakan kritik terhadap biaya politik yang dianggap terlalu membebani, baik negara maupun calon kepala daerah.
"Artinya, Pak Presiden karena biaya yang mahal, potensi konflik yang tinggi, bayangkan sampai bermiliar-miliar, kandidatnya belum lagi yang PSU-PSU-PSU, diulang-ulang terus, seperti sekarang di Papua. Ada yang kemampuan fiskalnya defisit, seperti di Kabupaten Bangka, di PSU lagi, uangnya habis hanya untuk memilih," jelas Tito.
Tak hanya menyoal soal biaya, ia juga mengungkapkan bahwa kualitas kepala daerah hasil Pilkada langsung belum tentu lebih baik.
Baca Juga: Era Pilkada Langsung di Ujung Tanduk? Mendagri Tito Beberkan Kajian Internal Pemerintah
Padahal, dana yang digunakan untuk proses itu semestinya bisa dialokasikan untuk kepentingan rakyat.
"Sementara, belum tentu yang kualitas terpilih baik juga. Sementara akan lebih baik dipakai untuk pentingnya rakyat. Kita harus, kita rasional juga melihatnya. Tapi, jadi pasal itu memungkinkan sekali untuk dilakukan pemilihan melalui DPRD," tegasnya.
Dari sisi hukum tata negara, Tito menilai opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 18B ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara "demokratis", tanpa secara eksplisit mensyaratkan pemilihan langsung oleh rakyat.
"Bahasanya seperti itu. Nah, kalau demokratis itu artinya, pasal ini, UUD 45 ini, menutup peluang dilakukan penunjukan. Kalau mau ada penunjukan, berarti harus ada amandemen terhadap UUD 45 pasal itu," katanya.
"Tapi dengan ada kata-kata demokratis, demokratis itu tidak harus secara langsung. Dalam teori demokrasi, demokratis itu bisa menggunakan langsung, dipilih oleh rakyat, bisa juga dipilih oleh perwakilan, namanya demokrasi perwakilan. DPRD misalnya dipilih oleh rakyat, mereka yang memilih kepala daerah, itu dimungkinkan dengan pasal itu."
Gagasan koreksi sistem ini sebenarnya telah disinggung lebih dulu oleh Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan HUT ke-60 Partai Golkar akhir 2024 lalu.
Kala itu, Prabowo mendukung ajakan Bahlil Lahadalia untuk meninjau ulang sistem politik yang dinilai menguras anggaran dalam waktu singkat.
"Ketua umum Partai Golkar, salah satu partai besar, tadi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem partai politik, apalagi ada Mbak Puan, kawan-kawan dari PDIP, kawan-kawan partai-partai lain mari kita berpikir, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing, ya kan?" ucap Prabowo dalam pidatonya di Sentul, Bogor, Kamis , 12 Desember 2024.
Ia bahkan mengangkat contoh negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang dinilainya lebih efisien dalam menjalankan pemilu.
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, DPRD itu lah yang milih gubernur, milih bupati. Efisien nggak keluar duit, efisien, kaya kita kaya," kata Prabowo.
"Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, uang yang bisa perbaiki irigasi, uang yang bisa. Ini sebetulnya banyak ketua umum ini sebetulnya bisa kita putuskan malam ini juga, bagaimana?"
Menanggapi kemungkinan adanya perubahan konstitusi terkait hal ini, Tito menyatakan pembahasan masih terus berlangsung secara serius.
"Lagi dirapatkan," singkatnya.