Kritis atau Tak Nasionalis? Debat Sengit di Balik Tren Bendera One Piece yang Viral

Tasmalinda Suara.Com
Kamis, 31 Juli 2025 | 21:45 WIB
Kritis atau Tak Nasionalis? Debat Sengit di Balik Tren Bendera One Piece yang Viral
debat sengit dendera One Piece, jelang Agustusan. (Twitter)

Suara.com - Tiang bendera di depan rumah kini menjadi medan pertempuran ideologi baru.

Di satu sisi, Sang Saka Merah Putih berkibar sakral, simbol perjuangan dan kedaulatan. Tepat di sampingnya, sebuah bendera hitam tengkorak bertopi jerami, one piece ikut menari diembus angin.

Pemandangan ini telah memecah belah ruang digital dan memantik sebuah debat sengit, apakah ini bentuk kritik sosial yang cerdas dari generasi baru, atau sebuah tanda lunturnya rasa nasionalisme?

Fenomena viral bendera One Piece ini lebih dari sekadar tren.

Ia adalah cermin dari benturan dua cara pandang yang fundamental.

Tidak ada jawaban yang mudah, karena kedua kubu memiliki argumen yang sama-sama kuat. Mari kita bedah posisi masing-masing dalam debat yang membara ini.

Kubu Kritis: "Ini Simbol Perlawanan, Bukan Pengkhianatan"

Bagi mereka yang dengan bangga mengibarkan Jolly Roger Topi Jerami, tindakan ini bukanlah serangan terhadap negara.

Sebaliknya, ini adalah ekspresi cinta pada negara dengan cara yang berbeda: dengan mengkritik apa yang salah di dalamnya. Argumen mereka berdiri di atas tiga pilar utama:

Baca Juga: 7 Alasan Ini Bikin Bendera One Piece Layak Berkibar di Samping Merah Putih?

Simbolisme Anti-Tirani yang relevan, di mana mereka melihat dunia One Piece sebagai cerminan realitas.

Kelompok Topi Jerami melawan Pemerintah Dunia yang korup dan Kaum Naga Langit (Tenryuubito) yang sewenang-wenang.

"Mengibarkan bendera ini bukan berarti kami anti-Indonesia," tulis seorang pengguna di X.

"Ini berarti kami anti pada 'Tenryuubito' versi dunia nyata, siapapun mereka."

Kebebasan Berekspresi di Negara Demokrasi: Inti dari kemerdekaan adalah kebebasan.

Ini termasuk kebebasan untuk menyuarakan ketidakpuasan.

Budaya pop, dengan bahasa simbolisnya, menjadi medium yang aman dan kreatif untuk menyalurkan aspirasi yang mungkin sulit diungkapkan secara langsung.

Bukan Melawan Merah Putih, Tapi Bersanding Dengannya di artikan mereka berpendapat bahwa penempatan bendera di samping bukan menggantikan Merah Putih adalah kuncinya.

Ini melambangkan bahwa semangat perlawanan terhadap ketidakadilan (Jolly Roger) dapat dan harus berjalan beriringan dengan cinta pada tanah air (Merah Putih).

Kubu Nasionalis: "Jangan Samakan Simbol Perjuangan dengan Kartun"

Di sisi lain, ada gelombang keprihatinan yang tak kalah besar. Bagi kubu ini, tindakan tersebut adalah bentuk degradasi terhadap simbol negara yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.

Argumen mereka berakar pada rasa hormat dan sakralitas.

Mengikis sakralitas bendera negara, di mana Merah Putih bukan sekadar kain dua warna.

Ia adalah representasi dari pengorbanan para pahlawan dan martabat bangsa.

Menyejajarkannya dengan simbol dari cerita fiksi, apalagi "bendera bajak laut", dianggap merendahkan nilai luhur dan sakral dari bendera negara.

Tren Sesaat yang Dangkal yakni mereka memandang ini sebagai tren musiman yang didorong oleh algoritma media sosial, bukan sebuah gerakan dengan akar ideologis yang kuat.

"Semangat nasionalisme dibangun puluhan tahun, jangan sampai terkikis oleh tren anime yang mungkin dilupakan tahun depan," ujar seorang komentator di Facebook.

Menciptakan Kebingungan dan Salah Paham: Bagi generasi yang lebih tua atau masyarakat awam, nuansa kritik ini tidak akan tertangkap.

Yang terlihat hanyalah bendera negara "disaingi" oleh bendera kartun, sebuah pemandangan yang bisa diartikan sebagai bentuk pembangkangan atau bahkan penghinaan.

Bukan Hitam Putih: Cermin Keresahan Generasi

Pada akhirnya, debat sengit ini mungkin bukanlah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.

Fenomena ini lebih tepat dilihat sebagai sebuah gejala.

Gejala dari sebuah generasi yang merasa perlu mencari medium baru untuk didengar. Gejala dari kemungkinan adanya jurang komunikasi antara negara dengan warganya yang paling dinamis.

Apakah ini kritis atau tak nasionalis?

Mungkin keduanya. Mungkin ini adalah bentuk nasionalisme kritis, sebuah cara untuk berkata, "Kami sangat mencintai negara ini, sehingga kami tidak akan diam saja ketika melihat ada hal yang perlu diperbaiki."

Debat ini adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia hidup, dinamis, dan terus bernegosiasi tentang makna menjadi "Indonesia" di era digital. Dan mungkin, itulah bentuk perayaan kemerdekaan yang paling otentik.

Jadi, di mana posisi Anda dalam debat sengit ini?

Apakah Anda berada di Tim Kritis yang melihat ini sebagai bentuk ekspresi yang sah, atau di Tim Nasionalis yang merasa ini mengikis kehormatan simbol negara?

Suarakan pendapatmu dengan argumen terbaik di kolom komentar!

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI