Insiden Bawean melambungkan nama Fajar Adriyanto sebagai penerbang yang tak hanya andal secara teknis, tetapi juga memiliki nyali baja.
Dari Kokpit ke Pucuk Pimpinan: Karier yang Terus Menanjak
Kecemerlangan Fajar "Red Wolf" tidak berhenti di kokpit.
Ia adalah perwira komplet yang juga unggul dalam kepemimpinan dan strategi.
Rekam jejaknya membuktikan hal tersebut, di mana ia dipercaya memegang berbagai jabatan krusial mulai dari Komandan Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi (2007-2010) sempat kembali ke 'kandangnya' sebagai pemimpin para elang muda.
Lalu Komandan Lanud Manuhua, Biak (2017-2019) yang memimpin pangkalan udara strategis di ujung timur Indonesia.
Pernah juga menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) (2019-2020): Menjadi 'wajah' dan juru bicara TNI AU, mendekatkan institusi dengan publik.[2]
Selain itu jabatan strategis lainnya yakni termasuk Kapuspotdirga, Aspotdirga Kaskoopsudnas, dan terakhir sebagai Kapoksahli Kodiklatau.
Tak hanya di medan laga, Fajar juga berprestasi di bidang akademis.
Baca Juga: Kronologi Jatuhnya Pesawat Latih yang Merenggut Nyawa Marsma TNI Fajar Adriyanto
Ia berhasil meraih predikat tesis terbaik saat menempuh pendidikan di Universitas Pertahanan Indonesia pada 2012, sebuah bukti bahwa ketajamannya tak hanya di udara, tetapi juga dalam pemikiran.
Penerbangan Terakhir Sang Legenda
Kecintaannya pada dunia dirgantara tak pernah padam.
Di luar tugas militernya, Marsma Fajar aktif sebagai penerbang di Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Nahas, pada hari Minggu pagi itu, takdir berkata lain.
Pesawat latih Microlight Fixedwing Quicksilver GT500 dengan registrasi PK-S126 yang ia piloti jatuh saat menjalankan misi latihan.
Lepas landas dari Lanud Atang Sendjaja pukul 09.08 WIB, pesawat hilang kontak hanya 11 menit kemudian dan ditemukan jatuh di area pemakaman di Ciampea, Bogor.