Suara.com - Ada kisah cinta yang ditulis dalam puisi, ada yang dipahat dalam patung, dan ada pula yang terukir dalam penantian sunyi di pinggir jalan selama setengah abad.
Di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah sebuah legenda cinta yang menyayat hati kini mencapai babak akhirnya, menggetarkan sanubari siapa pun yang mendengarnya atau melihat mural-nya.
Ini adalah kisah Mbah Arifin Gomblo, pria yang kesetiaannya melampaui batas nalar.
Penantiannya selama puluhan tahun untuk sang kekasih akhirnya usai, bukan dalam sebuah pelukan bahagia, melainkan saat malaikat maut datang menjemputnya.
Kini, kisahnya tak akan lekang oleh waktu, terpatri abadi di sebuah dinding desa.
Sejak tahun 1970-an, ada pemandangan yang tak pernah berubah di sudut Jalan Desa Kupu, Kecamatan Dukuhturi.
Sesosok pria tua, Mbah Arifin, selalu duduk di sana.
Tatapannya lurus, seolah menembus waktu, menanti kedatangan satu nama: Supriyati, kekasih hatinya.
Tak ada yang tahu pasti janji apa yang mereka ikat puluhan tahun silam.
Baca Juga: Suara Live: One Piece "Invasi" Solo hingga Kementerian PMK Soroti Polemik Royalti Musisi
Namun, bagi Mbah Arifin, janji itu adalah napas dan tujuan hidupnya.
Dekade demi dekade ia lalui dalam penantian bisu.
Panas terik dan hujan badai tak mampu menggoyahkan posisinya. Ia menjadi monumen kesetiaan yang hidup, sebuah anomali di dunia yang terus bergerak cepat.
Namun, setiap penantian pasti berakhir.
Tragisnya, akhir penantian Mbah Arifin bukanlah pertemuan yang ia impikan. Ia menghembuskan napas terakhirnya dalam kesendirian, masih di tengah tugas sucinya menunggu sang kekasih yang tak pernah kembali.
Cermin Ketulusan yang Hilang
Bagi orang asing, Mbah Arifin mungkin hanya seorang ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) yang tatapannya kosong.
Namun bagi warga Desa Kupu, ia adalah pelajaran berharga tentang cinta dan komitmen.
Mereka tidak pernah mengucilkannya.
Sebaliknya, warga justru melihat melampaui tatapan kosongnya dan menemukan inti dari seorang pria dengan cinta yang luar biasa.
Kematian Mbah Arifin meninggalkan kekosongan, tetapi komunitasnya menolak membiarkan kisahnya terkubur bersamanya.
Sekelompok seniman lokal dari Kupu Art Forum merasakan panggilan untuk melakukan sesuatu yang lebih.
Mereka mengubah sebuah tembok kusam menjadi kanvas keabadian.
Dengan sapuan cat yang penuh perasaan, wajah Mbah Arifin dengan tatapan penuh harapnya dilukiskan dalam sebuah mural yang megah.
Ini bukan sekadar gambar, ini adalah sebuah epitaf, sebuah monumen cinta yang akan dilihat oleh generasi mendatang.
Mural ini adalah cara warga Tegal mengatakan: "Mbah Arifin, penantianmu tidak sia-sia. Kesetiaanmu kini kami kenang selamanya."
Kisah Mbah Arifin adalah sebuah tamparan bagi zaman modern yang sering kali meremehkan arti janji.
Ia membuktikan bahwa cinta paling murni terkadang tidak butuh balasan, ia hanya butuh dihidupi hingga akhir hayat.
Kisah Mbah Arifin mengajarkan kita tentang kekuatan cinta dan kesetiaan yang melampaui akal sehat.
Di tengah dunia yang serba instan ini, apa arti kesetiaan bagi Anda? Mari berdiskusi di kolom komentar.