- 4. Kepatuhan Internasional
LMKN juga bekerja sama dengan organisasi hak cipta internasional. Artinya, pemutaran lagu-lagu musisi luar negeri di Indonesia juga wajib dibayarkan royaltinya, sebagai bagian dari perjanjian dan kepatuhan terhadap standar global.

Sisi Kontra: Beban dan Transparansi yang Dipertanyakan
Meskipun tujuannya mulia, implementasi kebijakan ini menuai kritik tajam, terutama dari para pelaku usaha, khususnya skala kecil dan menengah (UMKM).
- 1. Beban Finansial bagi Pelaku Usaha
Banyak pemilik kafe dan restoran merasa tarif royalti menjadi beban operasional tambahan. Sebagai contoh, tarif untuk restoran dan kafe ditetapkan per kursi setiap tahunnya.
Akibatnya, beberapa pengusaha memilih untuk tidak lagi memutar musik sama sekali dan beralih ke suara alam atau instrumen bebas hak cipta untuk menghindari potensi masalah hukum.
- 2. Keraguan pada Transparansi Distribusi
Muncul skeptisisme di kalangan pembayar royalti mengenai alur distribusi dana.
Pertanyaan mendasar mereka adalah "Apakah uang yang kami bayarkan benar-benar sampai ke tangan musisi yang berhak secara adil dan tepat waktu?", isu transparansi ini menjadi ganjalan utama dalam penerimaan kebijakan.
- 3. Aturan yang Dianggap Rumit dan Meluas
Kebijakan ini dianggap semakin rumit ketika LMKN menegaskan bahwa pemutaran rekaman suara alam seperti kicau burung atau gemericik air juga tetap harus dibayar royaltinya.
Hal ini karena produser rekaman memiliki hak terkait atas fonogram tersebut, sebuah konsep yang tidak dipahami oleh banyak orang.
Baca Juga: Debat Royalti Musik: Kafe Putar Radio Wajib Bayar Royalti? Ini Aturannya
- 4. Penegakan Hukum yang Menimbulkan Kekhawatiran
Kasus hukum yang menjerat beberapa tempat usaha, seperti Mie Gacoan di Bali, karena tidak membayar royalti menunjukkan bahwa penegakan aturan ini sangat serius. Bagi sebagian pelaku usaha, ini menciptakan iklim ketakutan alih-alih kesadaran untuk patuh.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon pun juga menyadari bahwa masalah mengenai wajibnya membayar royalti menimbulkan kesalahpahaman dan ketakutan bagi sebagian pelaku usaha.
“Nanti kita benahi agar ada jalan keluar yang win-win solution.” ujarnya di Depok, Jawa Barat, pada Minggu (3/8/2025).
Polemik ini menuntut adanya jalan tengah yang dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.
Reporter : Nur Saylil Inayah