"Kenapa Minta Sedikit?" Pengakuan Mbak Ita Ungkap Mentalitas Korupsi Pejabat?

Kamis, 07 Agustus 2025 | 22:30 WIB
"Kenapa Minta Sedikit?" Pengakuan Mbak Ita Ungkap Mentalitas Korupsi Pejabat?
Mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu alias Mbak Ita, saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin. (ANTARA/I.C. Senjaya)
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang Indriyasari saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap mantan Wali Kota Semarang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (30/6/3025). [ANTARA/I.C. Senjaya]
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang Indriyasari saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap mantan Wali Kota Semarang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (30/6/3025). [ANTARA/I.C. Senjaya]

Pledoi Mbak Ita menempatkan Indriyasari, sang saksi kunci, sebagai episentrum masalah. Mbak Ita berusaha membangun jarak dengan mengklaim bahwa hubungannya dengan Kepala Bapenda itu tidak akrab.

"Saya tidak akrab, saya tidak dekat dengan kepala Bapenda. Karena saya tahu posisi saya sehingga saya membatasi pertemuan-pertemuan, membatasi pergaulan-pergaulan dengan orang-orang yang seperti itu. Yang bersangkutan datang sendiri, yang bersangkutan datang dan memberikan angka sebesar itu," paparnya.

Pengakuan ini melukiskan potret birokrasi yang penuh intrik.

Di satu sisi, ada seorang atasan yang mengaku menjaga jarak.

Di sisi lain, ada bawahan yang (menurut versi Mbak Ita) proaktif memberikan "upeti" untuk dana operasional.

Fenomena "asal bapak senang" atau inisiatif bawahan untuk "mengamankan" posisi atasan adalah praktik yang sering terdengar dalam birokrasi yang tidak sehat.

Namun, dalam kasus ini, inisiatif tersebut berakhir dengan tuduhan saling menjebak dan lempar tanggung jawab di pengadilan.

Potret Birokrasi Rusak: Siapa Menjebak Siapa?

Kasus korupsi Mbak Ita lebih dari sekadar cerita tentang seorang individu.

Baca Juga: KPK Beberkan Aliran Rp28,38 M ke Kantong 2 Anggota DPR dari Dana CSR Bank Indonesia

Ini adalah cermin dari sistem birokrasi yang mungkin telah lama rusak. Beberapa poin penting yang bisa kita tarik adalah:

Zona Abu-abu "Dana Taktis": Istilah seperti "Iuran Kebersamaan" atau "dana operasional tambahan" adalah celah rawan korupsi.

Tanpa regulasi yang jelas dan transparan, dana ini menjadi sumber godaan yang sulit ditolak.

Putusnya Rantai Komando dan Pengawasan: Seorang pemimpin yang mengaku "tidak tahu" adanya pengumpulan dana besar-besaran di lingkungan kerjanya menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal.

Loyalitas yang Toksik: Hubungan atasan-bawahan yang didasari oleh pemberian materi, bukan kinerja, menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan penuh potensi pengkhianatan saat masalah muncul.

Pada akhirnya, pledoi Mbak Ita meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI