Keempatnya kini ditahan, sementara belasan prajurit lain masih dalam pemeriksaan intensif.
Dalih 'Mental Baja' yang Berujung Peti Mati
Kematian Prada Lucky kembali membuka kotak pandora kekerasan di institusi aparat.
Mengapa praktik perpeloncoan dan penganiayaan berkedok "pembinaan mental" dan "tradisi senioritas" terus memakan korban?
Banyak yang berdalih bahwa kerasnya latihan fisik dan mental diperlukan untuk membentuk prajurit yang tangguh.
Namun, batas antara disiplin dan penyiksaan seringkali kabur.
Ketika seorang prajurit muda tewas dengan luka di sekujur tubuh, itu bukan lagi pembinaan, melainkan tindak pidana keji.
Psikolog militer menyoroti bahwa budaya senioritas yang berlebihan dapat menjadi akar dari kekerasan yang terus berulang.
Ada persepsi bahwa junior harus "dibentuk" dengan cara yang sama seperti senior mereka dulu, menciptakan siklus kekerasan yang tak terputus.
Baca Juga: Jeritan Amarah Ayah Prada Lucky: Hukum Mati! Anak Saya Dibunuh, Bukan Gugur
Kekuasaan absolut yang dimiliki senior terhadap junior, tanpa pengawasan ketat dari komandan, menjadi lahan subur bagi penyalahgunaan wewenang.
Serma Christian dengan lantang menyuarakan kepedihan dan kemarahannya.
"Saya tentara, tentara merah putih, jiwa saya merah putih. Kalau bisa semua dihukum mati. Biar tidak ada satu catatan, biar tidak ada Lucky yang lain, Lucky-Lucky yang lain. Ingat baik-baik. Anak tentara saja dibunuh kok, bagaimana mau yang lain," tegasnya.
Pernyataannya ini bukan hanya jeritan hati seorang ayah, tetapi juga kritik tajam dari "orang dalam" yang melihat ada duri dalam daging di tubuh institusinya sendiri.
![Prada Lucky yang diduga tewas dianiaya senior. [Dok. Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/08/53115-prada-lucky.jpg)
Momentum untuk Reformasi Total
Pangdam IX/Udayana telah memerintahkan agar kasus ini diusut secara transparan hingga tuntas, sebuah janji yang harus dikawal oleh seluruh masyarakat.