Namun, luka parah di lehernya membuat nyawa siswa MTs itu tak dapat diselamatkan.
Ia dinyatakan meninggal dunia sekitar pukul 13.15 WIB.
Pihak kepolisian bersama perangkat desa segera mengamankan J untuk menghindari potensi amuk massa dan memulai proses hukum yang rumit, mengingat usia pelaku yang masih sangat belia.
"Dari hasil pemeriksaan, memang kebisaan pelaku selalu membawa gunting di kantongnya. Jadi dia bawa gunting itu bukan pas di hari kejadian, tapi sebelum kejadian juga sudah sering dibawanya," kata Kasat Reskrim Polres Muratara, Iptu Nasirin.
Bukan Kasus Pertama, Puncak Gunung Es Kekerasan Anak
Tragedi di Muratara ini, sayangnya, bukanlah insiden tunggal.
Peristiwa serupa pernah terjadi di Garut pada 2018, di mana duel maut dua bocah SD juga dipicu masalah sepele dan berakhir dengan penusukan menggunakan gunting.
Berbagai kasus perundungan (bullying) yang berujung kekerasan fatal di lingkungan sekolah terus bermunculan di berbagai daerah, seolah menjadi wabah yang sulit dihentikan.
Data dari berbagai lembaga perlindungan anak menunjukkan tren peningkatan kasus kekerasan yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku.
Baca Juga: Ngevlog Sejak Usia 5 Tahun, Ini Cara Ryu Kintaro Bocah Perintis Bangun Personal Branding Sejak Dini
Ini adalah lampu kuning yang menyala terang, menandakan ada sesuatu yang salah dalam cara kita mendidik dan membentuk karakter anak-anak.
Emosi yang tidak terkelola, ketidakmampuan menyelesaikan konflik secara sehat, dan minimnya rasa empati menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Sekolah dan Masyarakat: Di Mana Peran Penumbuh Empati?
Kasus ini secara brutal menyoroti kegagalan kolektif dalam menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Sekolah tidak boleh lagi hanya menjadi tempat transfer ilmu pengetahuan akademis.
Program anti-perundungan harus menjadi agenda wajib yang dijalankan secara serius, bukan sekadar formalitas.