Suara.com - Ketua Komisi IV DPR RI, Titiek Soeharto menyoroti tingginya harga beras di Sulawesi Selatan meski provinsi ini dikenal sebagai lumbung beras nasional dengan stok melimpah.
Diketahui, harga beras di pasar jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Adapun merujuk pada Peraturan Bapanas Nomor 5 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Bapanas Nomor 7 Tahun 2023 tentang Harga Eceran Tertinggi Beras atau HET, beras medium di Sulsel seharusnya ada di kisaran harga Rp12.500 per kilogram. Sementara untuk beras premium Rp14.900 per kilogram.
Namun di Pasar Daya Makassar, misalnya, harga beras medium tembus hingga Rp15.700 per kilogram dan beras premium Rp17.800.
Begitu pun di Pasar Pabaeng-Baeng. Beras medium Rp15.000 dan beras premium Rp17.000 per kilogram.
Kenaikan harga diduga dipicu oleh isu beras oplosan yang menyebabkan sejumlah merek beras ditarik dari pasaran. Kondisi ini pun memicu gejolak harga.
"Mudah-mudahan secepatnya bisa normal kembali. Pers juga harus menyuarakan, di sini harganya lebih mahal," ujar Titiek dalam kunjungan ke Gudang Bulog Makassar, Senin, 11 Agustus 2025.
Politisi Gerindra itu mengingatkan agar Bulog dan Badan Pangan Nasional bisa aktif melakukan intervensi pasar melalui penyaluran Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Titiek menekankan jika kondisi beras naik seperti sekarang ini, maka SPHP mestinya disalurkan.
Baca Juga: Cara Membedakan Beras Asli dan Oplosan, Kata Mentan Tetap Aman Dimakan?
"Kalau harganya naik, mereka harus lepas SPHP supaya normal kembali. Jangan sampai kita dipermainkan pasar dengan harga ini, sebagai rakyatnya yang kena," tegasnya.
Berdasarkan data Bulog, stok SPHP di Sulsel saat ini mencapai 1.600 ton, sementara secara nasional terdapat 1,3 juta ton yang harus dihabiskan untuk stabilisasi harga hingga Desember 2025.
Kata Titiek, Bulog juga melaporkan bahwa khusus Sulawesi Selatan, stok beras di gudang ada 500 ribu ton.
Belum lagi ada cadangan beras, termasuk sisa impor tahun lalu yang kini masih ada. Sehingga, menurutnya, harga seharusnya bisa lebih terkendali.
Titiek juga memastikan agar sisa beras impor bisa mulai disalurkan secara bertahap.
"Jadi, berapa pun yang diperlukan Sulselbar, Bulog sanggup," jelas Titiek.
Dalam kunjungan itu, Komisi IV juga meninjau mesin rice to rice milik Bulog yang mampu mengolah beras berkualitas rendah menjadi beras premium tanpa mengurangi nilai gizi.
Ia berharap daerah lain bisa meniru untuk menerapkan mesin itu. Hasilnya bahkan bisa dijual di Koperasi Merah Putih.
"Ini luar biasa. Mesin ini bisa membersihkan batu, gabah, dan membuat beras lebih bening dan bersih jadi premium," kata Titiek.
Ia menegaskan, proses tersebut bukan pengoplosan beras, melainkan peningkatan kualitas agar layak jual.
"Berasnya dicantikkan, tapi gizinya tetap sama. Jadi bagus kualitasnya yang dihasilkan," tambahnya.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mencatat terjadi inflasi secara year on year (y-on-y) pada Juli 2024 sebesar 1,74 persen.
BPS mengungkap komoditas beras jadi pemicu utama inflasi.
"Juli 2024 bila dibandingkan Juli 2023 terjadi inflasi sebesar 1,74 persen atau year on year," ucapnya, baru-baru ini.
Aryanto merinci inflasi y-on-y terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan naiknya indeks kelompok pengeluaran. Utamanya kelompok makanan, minuman, dan tembakau 3,13 persen, kelompok pakaian dan alas kaki 0,72 persen.
Kemudian, kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga 0,44 persen, serta kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga 0,82 persen.
"Terjadi inflasi selama setahun sebesar 3,13 persen dengan andil sebesar 0,96 persen. Bila kita lihat komoditas yang dominan adalah beras. Beras selama setahun terakhir mengalami inflasi dengan andil sebesar 0,43 persen," jelasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing